8. Bandung dan Kembangnya

31.2K 1.6K 42
                                    

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤSenyum tidak luntur dari wajah Hakim barang sedetik pun setelah mendengar penuturan Asya tadi pagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
Senyum tidak luntur dari wajah Hakim barang sedetik pun setelah mendengar penuturan Asya tadi pagi. Senang? Tentu saja, walau yang Asya bilang hanya rasa suka, tapi itu pertanda baik bukan?
Hakim tidak menjawab saat Asya mengutarakan perasaannya, dia bingung. Dia juga menyukai Asya, bahkan mungkin bisa dibilang sejak mereka pertama kali bertemu di dalam kereta. Hakim terpesona saat mendengarkan Asya bercerita, dia berhayal bisa mendengar suara itu setiap malam sebelum tidur. Membacakan cerita untuk dirinya dan buah hati mereka. Hakim mengacak rambutnya pelan saat itu, pikirannya terlalu jauh.

"Gus."

Hakim hampir terpekik saat mendengar seseorang memanggilnya. Hakim menoleh, ternyata adik iparnya.

"Teh Asya kemana?" Tanya Umar
"Katanya ke depan sama Ibu, beli sayur."

Umar mengangguk lalu duduk di samping Hakim.

"Teh Asya itu cengeng banget, Gus. Dia liat foto anak kucing yang ga ada ibunya aja langsung nangis. Sensitif juga, apa-apa selalu pake perasaan, dan ga tegaan. Tapi, Teh Asya kuat, entah fisik atau batinnya, saya tau selama ini Teh Asya menahan semua bebannya sendirian, berpikir mungkin cuma dia yang bisa tanggung itu semua. Teh Asya bahkan ga mau masuk pesantren karena tau saya pengen mondok dan takut biayanya malah, Teh Asya juga nolak beasiswa S2 karena pilih untuk kerja, katanya biar bisa nabung buat saya S2 padahal saya udah bilang kalo saya bisa kerja buat biaya kuliah, bapak juga masih sanggup, tapi ya Teh Asya tetep Teh Asya, dia pikul semuanya sendiri. Sebenernya kemarin saya takut Teh Asya tolak Gus Hakim karena mikirin masa depan saya, tapi alhamdulillah ternyata langsung diterima.

"Sekarang karena Gus Hakim udah jadi imamnya Teh Asya, semoga Gus Hakim bisa sedikit meringankan beban Teh Asya, bukan dalam artian materi, tapi dalam artian batin. Saya titip Teh Asya ya, Gus. Tolong bimbing dia, jadikan Teh Asya wanita sholehah terbaik versi Gus Hakim."

Ucapan Umar membuat Hakim terpukau, laki-laki yang berbeda lima tahun di hadapannya ini sangat dewasa dan bijaksana.

"Insyaallah." Hanya itu yang keluar dari mulut Hakim, dia benar-benar terpukau dengan keluarga ini. Bapak, ibu, Asya dan sekarang Umar.

"Teh Asya lebih suka makanan manis, sesekali makan pedes kalo lagi bete atau lagi haid. Teh Asya juga makannya banyak, tapi ga gendut gendut, ga tau deh kenapa, kayanya emang gen kita kecil kecil. Terus Teh Asya tuh sebenernya gampang banget buat marah, apalagi kalo lagi haid, serem banget Gus. Siap-siap jaga jarak aja kalo Teh Asya lagi haid." Ucap Umar lagi membuat Hakim terkekeh.

"Assalamualaikum."

Hakim dan Umar menoleh ke arah pintu sambil menjawab salam. Asya membawa beberapa keresek, ibu juga. Asya berjalan ke ruang tengah sedangkan ibu langsung ke dapur.

"Tadi Asya beli jajan." Ucap Asya membuka semua isi keresek yang dia bawa.

Ada kue basah, surabi, beberapa gorengan juga beberapa makanan yang Hakim tidak tahu namanya.

Hakim Where stories live. Discover now