40. Merayu

21.4K 1.4K 75
                                    

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤAsya menandatangani berkas di depannya disaksikan kedua pengacara mereka

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
Asya menandatangani berkas di depannya disaksikan kedua pengacara mereka. Hakim benar-benar menyewa pengacara lain untuk dirinya sendiri, sedangkan pengacara pribadinya menjadi saksi dari pihak Asya. Setelah selesai, kedua pengacara itu pamit, Hakim mengantarkan mereka sampai keluar ruang kerjanya.

Asya duduk dan terdiam, masih memikirkan apa yang dia lakukan ini benar atau tidak. Tapi sekalipun dia salah, dia tidak bisa kembali. Surat perjanjian sudah dibuat. Asya benar-benar asal bicara saat dia mengusulkan poin-poin yang dia inginkan saat di Bandung minggu lalu, kecuali tentang hak asuh anak. Dia juga tidak bersungguh-sungguh tentang aset yang harus menjadi milik Asya. Untuk apa? Pikirnya, dia terbiasa hidup sederhana sejak kecil, kesederhanaan sudah memuaskan hidupnya. Dan Asya juga sempat ingin merevisi poin itu, dia tidak ingin Hakim atau keluarga Hakim berpikir jika Asya memang hanya menginginkan harta Hakim. Tapi Hakim tidak setuju, dia tetap memasukkan poin itu di surat perjanjian mereka. Toh, keluarga Hakim memang sudah tahu dan Asya yang meminta izin kepada bunda untuk membuat surat itu, bunda dengan kesadaran penuh mendukung Asya. Walaupun mereka yakin Hakim tidak akan melakukan tindakan di luar batas lagi. Tapi, setidaknya harus ada sesuatu yang menjadi alasan lain jika Hakim melakukan itu, dia harus memenuhi sumpah dan janjinya atau kehilangan semua hartanya karena menyakiti Asya, kurang lebih seperti itu yang bunda dan ayah sampaikan beberapa hari lalu.

Asya juga masih bimbang tentang pertanyaan yang selalu Hakim ajukan, apa dia bisa untuk terus bersama Hakim? Dia butuh saran, saran dari orang yang tidak membela dia ataupun Hakim.

"Humaira."

Asya mendongak menatap Hakim,

"Ada apa? Ada yang sakit?" Tanya Hakim, Asya menggeleng pelan.

"Ingin sesuatu?"
"Ga ada, Mas."
"Kita makan siang di luar atau mau di rumah?"
"Terserah. Oh iya Mas, kamu ada rencana ke Malang ga?"
"Malang? Kenapa?"
"Gapapa tanya aja, kalo mau ke sana, aku mau ikut, boleh?"
"Asya mau ke Malang?"
"Iya, tapi kalo Mas Hakim ke Malang, bukan sengaja ke Malang."
"Saya belum kepikiran, tapi lihat nanti saja ya. Kamu juga tidak boleh terus terusan pergi jauh, kamu lagi hamil,"

Asya mengangguk, kemudian bangkit saat Hakim mengajaknya untuk makan siang di luar.

"Maaf ya Mas." Ucap Asya pelan, mereka sudah ada di dalam mobil, menuju tempat makan yang Asya inginkan.

"Maaf kenapa?" Tanya Hakim,
"Surat tadi, aku pikir itu salah. Aku ga bermaksud kaya gitu, aku cuma-"
"Tidak ada yang salah, humaira. Lagi pula saya sudah sering bilang, saya tidak punya apa-apa lagi selain kamu. Saya tidak membual, yang saya inginkan hanya satu, saya ingin mendengar jika kamu tidak akan meninggalkan saya. Hanya itu."

Asya diam,

"Jauhkan pikiran aneh yang ada di otak cantik kamu, tidak akan ada yang berpikir jelek tentang kamu. Saya, bunda, ayah dan keluarga kita tahu kamu orang seperti apa. Lagi pula kamu meminta ini karena kesalahan saya juga. Dan tidak ada yang tahu tentang surat ini kecuali kita, ayah dan bunda." Lanjut Hakim,

Hakim Where stories live. Discover now