17. Kita, Bandung dan Hujan

25.7K 1.3K 34
                                    

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤAsya kaget saat sadar dia baru saja berteriak, dia menatap Hakim lalu menunduk, takut jika Hakim akan marah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
Asya kaget saat sadar dia baru saja berteriak, dia menatap Hakim lalu menunduk, takut jika Hakim akan marah. Hakim mengusap kepala Asya pelan. Beberapa orang juga sempat melirik ke meja mereka.

"Pelan-pelan bicaranya, humaira." Ucap Hakim mengingatkan,
"Maaf," cicit Asya,

Asya menarik tangan Hakim. "Asya mau pulang,"

"Masih gerimis, tunggu sebentar lagi."
"Asya malu, Gus."
"Malu kenapa? Gapapa, orang juga ga ada yang perhatikan."

Asya mengangkat wajahnya melihat sekeliling, Hakim benar, mereka tidak lagi melihat ke arah asya.

"Lain kali tidak boleh seperti itu ya." Ucap Hakim langsung diangguki Asya.

"Tapi, itu juga salah Gus Hakim, salah siapa ga ngalah, kan Asya jadi teriak."

Hakim menghela napas pelan, salah dia lagi, pikirnya.

"Iya, maaf ya." Ucap Hakim menggenggam tangan Asya, Asya menaikkan sebelah alisnya.

"Kok kaya ga ikhlas gitu sih minta maafnya."
"Astagfirullah, saya ikhlas, humaira. Saya minta maaf ya sayang."
"Iya Asya maafin."

Hakim menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, apa semua wanita seperti itu? Pasalnya, bundanya juga terkadang seperti itu.

Setelah beberapa belas menit, hujan berhenti, coklat dan kopi mereka juga sudah habis. Asya mengajak untuk ke tempat lain, mencari makan malam. Hakim membantu Asya memakai kembali jaketnya, lalu memakaikan helm.

"Mau kemana lagi?" Tanya Hakim,
"Mas mau makan apa?"
"Saya pengen pecel sih, tapi terserah Asya aja, Asya mau makan apa?"
"Sebenernya Asya pengen jajan, Mas."
"Makan dulu, baru jajan, ya?"
"Nanti kalo kenyang gimana?"
"Ga bakal kenyang, ayo kita cari makan dulu."

Asya mengangguk, lalu naik ke motor di bantu Hakim. Sepanjang jalan, Asya terus bercerita. Satu lagi yang Hakim baru tahu, ternyata Asya secerewet ini. Hakim sesekali menggumam, mengiyakan atau menjawab pertanyaan Asya.

"Itu Mas." Ucap Asya menunjuk gerobak pecel, Hakim membelokkan motornya. Terlihat cukup banyak orang di dalam tenda. Hakim memarkirkan motornya di depan tenda.

"Asya makan sendiri ya." Ucap Asya begitu turun dari motor, Hakim hanya mengiyakan.

Asya menggandeng Hakim, berjalan mendekat ke gerobak lalu memesan apa yang ingin mereka makan setelah itu baru mencari tempat duduk.

"Kita pulang besok kan?" Tanya Asya,
"Iya, besok sore atau malam."
"Kirain pagi."
"Mba Laila pengen jalan-jalan, hari ini kan ga jadi."

Asya hanya ber oh ria.

"Mas cape ga?" Tanya Asya,
"Engga,"
"Maksud Asya, Mas kan lagi banyak kerjaan, lembur juga, terus urusin resepsi kita juga, dan beberapa kali pergi jauh kaya ke Malang dan Bandung, apa Mas ga cape?"
"Cape sih, tapi saya senang karena ditemani humaira."
"Serius, Mas."
"Serius."

Hakim Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang