39. Surat Perjanjian

21.6K 1.5K 156
                                    

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤAsya mengelus perutnya memutar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ
Asya mengelus perutnya memutar. Sejak tadi pagi dia sudah beberapa kali muntah, tapi hanya cairan bening yang dia muntahkan. Sejak kandungannya masuk bulan ketiga, Asya memang sesekali merasakan mual dan berakhir muntah, tapi hari ini adalah rekor terbanyaknya. Bahkan Asya tidak bisa tidur lagi selepas tahajud tadi malam karena mual.

"Makan dulu Sya. Mau makan apa? Biar Ibu atau Umar yang cariin sekalian." Ucap ibu dari arah luar.

Pintu kamar Asya terbuka, dia langsung bangun dan berjalan keluar menghampiri ibunya.

"Asya pengen bakso jualannya Bapak." Ucap Asya,

Ibu tampak berpikir, kemudian mengangguk.

"Ibu bikinin di sini aja. Tapi pake nasi ya jangan pake mi." Ucap ibu lalu berjalan ke dapur. Asya mengangguk tersenyum.

"Assalamualaikum." Ucap Umar dari arah luar,
"Waalaikumsalam, ada ga?" Tanya Asya,
"Nih."

Umar memberikan plastik putih kepada Asya, tadi Asya tiba-tiba ingin memakan cireng isi dan menyuruh Umar untuk mencarinya, Umar sempat kesal, mencari kemana penjual cireng sepagi ini? Tapi demi calon keponakannya, akhirnya dia tetap pergi menggunakan sepeda motornya.

"Pulang kapan?" Tanya Umar,

Asya tidak menjawab, dia sudah asik memakan cireng yang dibelikan Umar.
Sudah empat hari Asya di Bandung. Setelah pembicaraan Asya dan Hakim terakhir kali, keesokan harinya setelah pulang dari rumah sakit, Asya meminta izin untuk ke Bandung dengan alasan merindukan ibunya. Asya memang merindukan orang tuanya, tapi tentu bukan itu alasan utamanya. Awalnya Hakim langsung mengiyakan, dia bilang mereka akan langsung pergi hari itu, tapi Asya tidak mau, dia ingin sendiri. Hakim tentu langsung menolak, tapi Asya memaksa dan mengingatkan Hakim tentang ucapan Hakim yang akan memenuhi semua keinginan Asya, akhirnya Hakim mengizinkan Asya untuk ke Bandung dengan syarat dia mengantarkan Asya sampai rumah dan menjemputnya ketika Asya pulang. Asya tidak memberi tahu, berapa lama dia akan di Bandung. Setiap hari Hakim akan bertanya kapan Asya akan pulang, tapi setiap hari juga Asya hanya menjawab nanti.

"Teh, ga perlu jadi orang pintar buat tau kalo kalian lagi ada masalah. Ga baik ninggalin suami lama-lama. Kalo ada masalah itu diselesaikan, bukan lari kaya gini." Ucap Umar pelan,

"Diem deh, jangan bikin badmood."

Umar menghela napas, "Bapak sama Ibu khawatir, Teh. Bukan kita ga suka Teteh lama-lama di sini, kalo di sininya sama Gus Hakim ga masalah, tapi kalo sendiri ya ga baik, jangan jadi istri yang lalai sama kewajiban."

"Lalai apa sih? Orang Gus Hakim aja izinin."

"Udahlah, Umar. Masalah mereka biar jadi urusan mereka." Sahut ibu mendekat lalu memberikan apa yang Asya inginkan.

"Cuma satu pesan Ibu, apa pun masalahnya, selesaikan dengan kepala dingin, dan selalu libatkan Allah. Ga ada rumah tangga tanpa ujian, pasti bakal selalu ada, cuma ujiannya aja yang berbeda. Kamu ga perlu kasih tau kita. Simpan sendiri, kalo mau ngadu sama Allah aja." Lanjut ibu lalu duduk diantar kedua anaknya.

Hakim Where stories live. Discover now