PART 3

122K 6.3K 70
                                    

5 tahun kemudian.

"Ibu, aku pulang!" Teriak Vanya yang baru saja menyelesaikan tugas memulungnya.

Sebelum masuk, Vanya menaruh peralatan pulung-nya di samping rumah. Ia cuci tangan dan kaki terlebih dulu baru setelah itu masuk ke dalam.

Sampai di dalam, Vanya dihadiahi senyuman manis dari putrinya. Sudah 5 tahun berlalu dan sekarang dia sudah besar.

"Halo sayang," Vanya duduk di tikar lalu membawa putrinya ke dalam dekapan. Dia memangku princess kesayangannya.

"M-mam-ma, ne-nek la-lagi di ke-ke-bun," Ucap anak itu dengan susah payah.

Vanya tersenyum. Ia bangga dengan putrinya walaupun mempunyai masalah dalam bicaranya. Dia selalu semangat berbicara sesuatu.

Vanya bahagia dengan hidupnya yang sekarang. Jauh dari kata berkecukupan namun sangat dekat dari kata senang.

Bayi yang dulu masih menjadi janin di perutnya pun sudah berusia hampir 5 tahun. Kebetulan beberapa bulan lagi adalah hari ulang tahunnya yang ke 5. Jauh dari kata sehat, bayi yang Vanya lahirkan itu cacat.

Dia memiliki gangguan yang entah bisa sembuh atau tidak. Pasalnya tak ada rumah sakit bagus disini. Lagi pula Vanya tak punya cukup uang untuk mengobati putrinya.

"Elen mau makan? Mama masakin ya?" Ucap Vanya dijawab gelengan oleh Elen.

Elena Zayden, nama anak Vanya. Elen adalah anak manis yang mukanya 90% mirip laki-laki brengsek itu. Dari luar Elen terlihat sangat sempurna. Namun kalau dilihat dari dalam, Elen itu anak cacat. Dia tidak sempurna seperti anak-anak yang lain. Dia kesusahan dalam berbicara.

"Kenapa Elen gak mau makan? Katanya suka sama masakan mama."

"M-mau ta-tapi Elen ma-mau se-sekol-lah ju-ga, Ma," Pinta Elen membuat Vanya sedih.

"Elen kepingin sekolah kayak kakak El, ya?" Tebak Vanya.

Elen mengangguk, "I-iya, ka-karena ka-kak El pu-punya ba-ban-nyak te-teman."

"Tapi Elen belum bisa sekolah kayak kakak El, sayang," Vanya semakin mendekap putrinya.

"Ke-kenapa? K-ka-rena aku g-gak bi-sa bi-bicara?"

Vanya menggeleng, "Bukan. Mama belum punya banyak uang buat sekolahin Elen."

Ibu anak satu itu tak berbohong. Tapi jauh dari itu, Vanya takut kalau harus menyekolahkan Elen. Dia susah saat bicara, apakah sekolahan biasa bisa menampung anak ini?

"Besok kalau udah pendaftaran lagi daftarin aja Elen ke TK kecil," Ucap Ayumi baru saja pulang dari kebun.

Terkejut, Vanya mendongak, "Ibu kapan pulang? Mau Vanya buatin teh?"

"Jangan alihkan pembicaraan, Vanya. Gak apa besok daftarin aja Elen ke TK."

"Tapi Bu, uangnya?"

"Masalah uang bisa kita cari. Setidaknya biarkan Elen merasakan bagaimana serunya sekolah," Vanya mengangguk. Ia setuju, secacat-cacatnya Elen, putrinya berhak untuk sekolah.

"Ja-jadi, aku ba-bakal se-kol-lah, n-nek?" Tanya Elen semangat.

Ayumi duduk dihadapan mereka, "Iya sayang. Sebentar lagi cucu nenek bakal sekolah kayak kakak El. Elen seneng?" Elen mengangguk.

"Ya-ya udah, se-karang aku ma-mau ma-main s-sama ka-kak El."

Elen beranjak dari pangkuan Vanya. Anak kecil berambut sepunggung itu berlari keluar rumah dengan sandal buruknya.

"Elen! Mainnya jangan lari-lari ya!!" Teriak Vanya dari ambang pintu lalu diacungi jempol oleh putrinya dari jauh.

"Gak nyangka cucu ibu sudah sebesar itu. Udah mau sekolah," Celetuk Ayumi di samping Vanya.

HER LIFE (OTW TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang