PART 40

64.5K 3.8K 400
                                    

Kalo ada kalimat yg aneh / typo tolong komen ya biar aku benerin. masi gak kuat baca tulisan banyak buat revisi:(

🌷💓🌷💓

Mansion Maldeva.

"Gavin mana, Bevan?" Berlin duduk di sofa ruang keluarga sambil menyeruput teh hangat buatan art di sana.

Kemarin, Berlin diberi tahu kalau Gavin sudah pulang. Maka hari ini wanita itu menyempatkan diri untuk pulang.

Ya, sejak pulang dari pertemuan bersama kedua orang tua Vanya, Berlin belum menginjakkan kaki dirumah. Hari itu ia langsung mendapat panggilan rapat di perusahaan yang harusnya Gavin pegang. Dasar, izinnya bolos dua minggu malah bablas.

"Kemarin sih pergi terus nginep di apart kayaknya," Sahut Bevan lalu duduk di samping Berlin.

"Kamu oke, Bev?" Tanya Berlin berkerut kening. Pasalnya tidak biasanya muka Bevan pucat kayak sekarang. Ia merasa anaknya sedang tidak baik-baik aja.

"Aman, Ma," Bevan mendongakkan kepala.

"Karena Sea ya?" Tebak Berlin.

"Nggak," Elaknya membuat Berlin terkekeh.

"Mama pengen cepet-cepet kamu nikah."

"Gila, gak ah! Biar kak Kara atau Gavin dulu aja."

"Nanti, kalo mereka udah pada nikah terus kamu sendiri yang belum nikah bingung."

"Sea belum siap jadi ibu rumah tangga."

"Ya kalau Sea kerja juga apa masalahnya?"

"Sama aja Sea di gaji, uang aku gak ke pake."

"Astaga, Bevan... Kalo masalah uang, kalian kan bisa tabung uang itu buat masa depan. Kita gak tahu di masa depan nanti bakal ada apa."

"Gak mau, pokoknya biar kak Kara ato Gavin duluan. Oh ya, Mama sendiri oke?" Ucap Bevan berbalik tanya.

Berlin menghela nafas sabar. Tahu respon Mamanya berat, Bevan jadi merasa bersalah karena sudah menanyakan hal ini.

"Perusahaan Gavin tuh ditinggal sebulan. Untung gak terbengkalai," Celetuk Berlin.

Bevan menggeleng, Mamanya seperti sedang menyangkal sesuatu. "Pertemuan Mama sama orang tua Vanya gimana?"

"Makin berat. Mama pusing sama hidup Gavin."

"Nah kan, emang nyusahin tu anak."

"Makannya, Mama pengen kamu nikah biar beban Mama berkurang satu."

"Ya udah, maaf kalo Bevan jadi beban."

Berlin tertawa sama halnya dengan Bevan. Candaan pagi menjelang siang hari itu membuat mereka menghangat. Seketika beban Berlin dengan masalah Gavin sedikit berkurang.

Disela tawa, Gavin masuk sambil menggandeng anaknya. Sampai di hadapan mereka, langkah laki-laki itu terhenti berbarengan dengan tawa mereka yang langsung mengering.

"Katanya Mama pergi?" Tanya Gavin spontan.

"Udah pulang. Lah kamu, habis dari mana?"

Merasa genggaman tangan Elen semakin erat, Gavin menoleh menatap wajah putrinya yang sedang mendongak. Gavin tahu apa arti tatapan Elen. Gadis kecil ini masih asing dengan Berlin.

"Anak siapa yang kamu bawa--"

"Mama jangan bikin Elen takut ah," Gavin menggendong Elen.

"Anaknya Vanya?" Gumam Berlin dapat didengar oleh mereka semua.

HER LIFE (OTW TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang