PART 15

102K 4.9K 87
                                    

Setelah sarapan tadi, Vanya membawa Elen mengelilingi rumah sakit. Ada beberapa tempat dan benda rumah sakir yang Elen tidak tahu. Vanya dengan senang hati pun menjelaskan.

Sampai di taman belakang rumah sakit, Vanya mendudukkan diri di kursi panjang yang banyak disediakan di sana. Elen masih di kursi roda. Merasa putrinya tak nyaman, Vanya menggendong Elen hingga duduk di atas pangkuannya.

"M-ma, kita ka-kapan p-pulang?" Tanya Elen terbata.

"Besok Elen udah boleh pulang. Seneng gak?" Jawab Vanya sambil memeluk Elen dari belakang.

"Be-bener?" Vanya mengangguk di atas bahu putrinya.

"K-kalau u-udah pu-pulang, aku ma-mau sekolah la-lagi," Kabar gembira, sedikit demi sedikit Elen bisa mengucapkan kata dengan lancar.

"Eh? Beneran mau sekolah? Kalau mereka nakalin kamu lagi gimana?"

"Aku na-nakalin ba-balik!" Seru Elen percaya diri. Vanya terkekeh mengetahui putrinya sepercaya diri ini.

Kemarin, Clara belum sempat menjenguk Elen karena ternyata Elen sedang terapi bersama Chelsea. Entah hari ini beliau kemari lagi atau tidak. Tapi Vanya berharap tidak.

Tak ada alasan melarang Clara datang ke rumah sakit guna menjenguk cucunya. Hanya saja, Vanya takut kalau nanti mereka tidak diperbolehkan pulang ke desa mengetahui kondisi Elen.

Eh? Memangnya mereka menerima Elen sebagai cucu?

"M-ma, Pa-papa itu a-apa?" Tanya Elen tiba-tiba ditengah keheningan.

Vanya tercengang Elen menanyakan hal ini. Pasalnya selama ini dia tidak pernah menyinggung soal Papa.

"Elen tahu kata Papa dari siapa?"

"Ke-kemarin, dok-dokter Cel ta-ta-tanyain Papa a-aku."

Ya, Chelsea sebagai dokter terapi Elen pasti ingin tahu mengenai anak kecil itu lebih dalam. Apalagi selama di rumah sakit Chelsea tidak pernah melihat kedatangan sosok Ayah dari pasiennya.

"Setiap anak itu pasti punya Papa sama Mama. Dan Papa itu adalah orang yang bakal nemenin Mama sampai anaknya besar."

Jelas Vanya menggunakan bahasanya. Entah jelas atau tidak tapi bahasa ini menurutnya lebih mudah untuk dipahami.

"Be-berarti aku pu-punya Papa?" Vanya mengangguk kecil.

Papa?

Siapa Papanya Elen? Memang ada yang mau menganggap Elen sebagai anak selain Vanya sendiri? Jangan anak deh, memang ada yang mau menganggap Elen hidup?

Anak cacat sepertinya selalu menjadi bahan gunjingan seakan-akan mereka tak layak untuk hidup. Tidak tahu saja mereka bagaimana perasaan orang kekurangan diejek terus menerus.

Pandangan Vanya kosong menatap depan. Pikirannya tertuju pada satu orang. Sedang apa orang itu sekarang? Sudah menikah kah atau masih kuliah?

"Ma! Ma-mama ng-nggak de-dengerin aku!" Jerit Elen membuat lamunan Vanya buyar.

"Kenapa sayang?" Tanya Vanya.

"A-aku ta-tan-tanya, P-papa m-mana?"

"Nenek Ayumi, itu kan Papa Elen juga. Nenek selalu nemenin Mama kan? Nenek juga janji ke Elen kalau mau jagain Elen sampai besar, inget?" Vanya membuat alibi.

"Ja-jadi Pa-papa aku i-itu, Ne-nek?"

"Papa itu laki-laki yang menjadi kepala keluarga, Elen. Kalau nenek kan perempuan," Sial.

Bukan Vanya yang menjawab, melainkan dokter Bevan. Mata Vanya membulat mengetahui ada Bevan disini. Hendak beranjak dari duduk, Bevan menahan Vanya.

"Duduk aja gak apa," Ucapnya lembut lalu mengambil posisi duduk di samping Vanya. Tak lupa dengan jarak yang tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh.

HER LIFE (OTW TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang