PART 53

34.7K 3.6K 1.2K
                                    

Mobil yang Gavin kendarai sampai di dalam garasi luar rumah Vanya. Di depan gerbang tadi sudah ada orang suruhan Berlin untuk menjemput Gavin.

Keluar dari mobil, Gavin langsung bergegas membuka pintu samping kemudi. Terlihat Vanya sedang memangku Elen yang tertidur karena lelah.

"Sini aku aja yang gendong."

Pelan-pelan Gavin mengambil alih Elen supaya anak itu tidak terbangun. Elen sedikit menggeliat. Takut kalau tiba-tiba bangun, Gavin menepuk-nepuk pelan punggung putrinya.

"Gak ada yang ketinggalan kan?" Ucap Gavin melihat Vanya sibuk memasukkan barang-barang yang sempat keluar dari dalam tas.

"Enggak," Jawabnya sembari keluar. Mobil pun kembali Gavin kunci.

"Sini, Elen sama aku aja. Kamu udah ditunggu kan?" Tangan Vanya terulur siap menggendong Elen.

"Jangan, berat. Kamu juga pasti capek seharian ini nurutin Elen jalan-jalan," Gavin merengkuh pinggang Vanya lalu membawa wanita itu masuk ke dalam rumah.

Ternyata mereka sudah ditunggu oleh Charles di ruang tamu. Lelaki nyaris tua itu menunggu putri dan cucunya pulang sambil mengerjakan sesuatu melalui iPad yang ia genggam. Dihadapannya pula ada secangkir teh membuat Gavin yakin ini sudah menjadi kebiasaannya bekerja di malam hari.

"Papa? Belum tidur?" Ucap Vanya.

Charles menghentikan sentuhan layarnya. Ia mendongak, ada anak, cucu, dan calon mantunya di depan sana.

"Baru pulang?" Suara berat Charles terdengar menyeramkan.

Vanya mengangguk santai, "Kita ke kamar dulu ya, Pa. Elen udah tidur." Vanya mempersilahkan Gavin agar berjalan lebih dulu masuk ke dalam.

Tak ada sahutan atau bantahan dari Charles. Kakek-kakek yang tak mau dipanggil kakek itu hanya menggeleng penuh makna.

"Kalau takdirnya mereka bersama, aku bisa apa selain merestui hubungan mereka? Kasihan Gavin, habis ini dia pasti akan menyesal karena telah memutuskan pulang ke rumah."

Gumam Charles membayangkan apa yang bakal terjadi setelah ini. Dia terlanjur menyayangi Gavin seperti dia menyayangi Vanya, Adara, dan Acel sebagai anak.

•••••

"Pasti Elen makin berat ya?" Tebak Vanya menarik selimut sebatas dada anak itu agar suhu badannya tetap terjaga walaupun terkena AC semalaman.

Gavin terkekeh, berat? Berat Elen belum ada apa-apanya sama kehidupan yang putrinya dan Vanya jalani selama ini. Ayolah jangan meremehkan Gavin.

"Enggak," Gavin teringat sesuatu. Ia keluarkan sebuah blackcard dari dalam dompet. "Nih, Van."

Kening Vanya berkerut melihat kartu itu, "Buat apa?"

"Buat beli kebutuhan kamu sama Elen."

"Gak usah, Gavin. Papa selalu kasih aku uang bulanan kok."

"Jangan, nanti aku yang malu. Kalian berdua itu tanggung jawabku, masa masih ngerepotin Papa."

Gavin meletakkan kartu tersebut ke dalam genggaman Vanya. Tak peduli diterima atau tidak, Gavin harap Vanya mau menggunakan uang darinya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Kalau tak mau, setidaknya kebutuhan Elen, Vanya cukupi menggunakan blackcard Gavin.

"Tapi, kita gak ada hubungan apa-apa," Ujar Vanya polos.

"Ada Vanya... Kita kan, orang tua Elen dan sebagai orang tua aku mau kasih yang terbaik buat Elen. Sekalian bahagiain Ibunya."

Manik mata Vanya menatap wajah Gavin dalam. Dia mencari apakah ada kebohongan di wajah itu? Atau memang dia melakukan semua ini dari hati ke hati?

"Beberapa bulan lagi Elen masuk SD. Aku udah daftarin dia di England School."

HER LIFE (OTW TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang