PART 33

66.5K 4K 451
                                    

"Teman saya tuh, bu. Ibu-ibu disini lagi ghibah?" Seseorang datang membuat mereka terkejut.

"Mas, siapa?" Tanya Luna setelah detak jantungnya kembali normal. Sedangkan yang lain berkerut kening menatap orang dihadapannya saat ini.

Tiba-tiba seorang lelaki muda berada di samping mereka dan membuka topik. Siapa yang nggak kaget? Apalagi mereka sama sekali tidak pernah bertemu atau kenal dengan laki-laki itu.

"Nama saya Marvel, teman Gavin sama Vanya," Dia mengulurkan tangan.

"Loh, kenal Vanya?" Luna menatap Marvel dari atas sampai bawah. "Mas nya yakin temennya Vanya?"

"Kali aja temennya Mas bukan Vanya yang ini," Ucap ibu-ibu yang lain. Dia tidak mengira saja kalau Vanya punya teman kayak dia.

"Ngomong sama emak-emak mah kagak ada abisnya anying," Batin Marvel sengit. Terus juga sialan, uluran tangannya terabaikan. Lihat saja mereka.

"Terserah kalau kalian gak percaya. Terus, ini kenapa masih disini? Mulutnya gatel ya pengen ngata-ngatain temen saya?"

Luna tidak suka dengan penyampaian Marvel. Di kampung ini, kalau ada anak muda yang ngomongnya suka ceplas-ceplos kayak Marvel pasti langsung di cap anak kurang ajar atau anak nggak punya adab.

Ya memang, dimana-mana juga gitu. Tapi disini Marvel baik kan, menegur mulut ibu-ibu kayak mereka?

"Kamu itu pemuda kok bicaranya gak sopan. Lain kali kalau bicara sama orang yang lebih tua pakai bahasa yang baik. Udah yuk ibu-ibu, kita pergi aja," Ujar Luna sambil berjalan pergi meninggalkan Marvel di sana.

Marvel menggelengkan kepala, ternyata masih ada ibu-ibu yang suka ngomongin tetangga. Dia pikir seiring perkembangan zaman hal semacam itu sudah lenyap. Karena makin kesini orang semakin individualisme.

Masalah Marvel yang berbicara tanpa sopan santun, ya maklum aja sih, Marvel dan yang lain kan kurang belajar adab. Mungkin karena mereka terlalu sering dimanja sama keluarga, jadi belajar adabnya agak kurang.

Itu ngaruh banget sih. Kita kalau apa-apa dibolehin pasti akan ngerasa dirinya paling berkuasa. Disitulah bakal muncul sifat kita yang kurang ajar kepada orang.

Marvel memandang Gavin dan Vanya dari kejauhan. Shock? Pastinya. Dia mana mengira selama ini Vanya tinggal di rumah kayak gitu.

"Menurut aku, kamu kurang peka sama keadaan Elen," Ucap Gavin memberi masukan. Ia tahu setelah ini Vanya akan marah. Tapi setidaknya masukan ini sampai ke Vanya.

"Tahu apa kamu soal Elen? Baru seminggu udah paham sama Elen?"

"Elen punya banyak permintaan. Dia gak berani minta ke kamu karena takut kamu marah."

"Gak usah ngada-ngada! Selama ini aku selalu berusaha kasih apa yang Elen mau kok."

"Elen minta sekolah lagi, kamu bakal kasih?" Kali ini Vanya skakmat oleh pertanyaan Gavin.

Dia masih takut untuk menyekolahkan Elen yang kedua kalinya, Gavin tahu itu. Selain dari rasa takut, Vanya pasti juga memikirkan biaya. Walaupun ada sekolah gratis, tapi menyekolahkan anak nggak semudah kelihatannya.

Sejenak tak ada suara diantara mereka. Vanya sibuk bergulat dengan pikirannya mengenai Elen yang ingin sekolah lagi. Sedangkan Gavin sudah kebingungan, entah harus mengatakan apa.

Tiba-tiba, "Van, ikut aku pulang yuk?" Ajak Gavin memelankan suara.

"...."

"Ajak Ibu Ayumi juga," Lanjutnya.

"Pulang kemana? Rumahku disini," Celetuk Vanya dalam.

"Rumahmu yang di Jakarta maksud Gavin," Ucap Marvel berdiri di samping Gavin.

HER LIFE (OTW TERBIT)Where stories live. Discover now