Chapter 2 : White Prison

607 77 10
                                    

Jakarta, Indonesia.

           Hari ini genap dua minggu ia mendekam dalam pengasingan. Untuk pertama kali nakas putih di sebelah ranjangnya melompong kosong. Tak ada mawar putih atau secarik kartu ucapan putih seperti biasa. Setiap ia bangun tidur, kedua benda itu menjadi penghiburan kecil. Ia bisa menghidu kelopak mawar dan meresapi hijau daunnya. Kemudian ia akan memekuri kata-kata motivasi hasil pemikiran para filsuf yang ditulis dengan huruf kaligrafi indah di kartu ucapan.

          "Aneh ...."

          Menarik napas panjang. Sedikit banyak ia agak heran oleh ketiadaan mawar dan kartu ucapan itu. Walau sejatinya ia tak begitu peduli, paling tidak, keadaan tersebut menstimulus otaknya untuk berspekulasi. Apa ini hari pengecualian? Apa orang-orang ampas itu sudah muak bermanis-manis ria dengannya?

           Brengsek! Mereka benar-benar ingin membuatku busuk di sini.

           Seantero ruang isolasi melempang putih. Suasana monoton itu telah memburamkan segalanya. Jangkauan pandangnya terbatas. Pasif. Ia hanya bisa merasakan gelap dan hampa. Dinding-dinding putih seakan luntur dalam ilusi, menyisakan ujung yang tak terhingga.

           Tepat di tengah ruangan tersebut, dirinya bersemayam seperti orang sakit jiwa. Dengan lembut ia tepis ujung daster putih yang tersingkap naik, duduk berselonjor di atas tempat tidur bersprei putih. Ia cuma bisa terpekur, tidur mendengkur, dan merutuk kesal selama 14 hari ini (itupun kalau ia tak salah hitung). Ia hanya bisa melihat jam putih di dinding. Angka-angkanya tak dapat membedakan kapan siang dan kapan malam.

           Lantas seseorang—alias keparat yang barusan masuk melalui pintu putih—dia juga memakai jas medis putih. Turun ke bawah, celana bahan jins yang dikenakannya pun putih, sepatunya putih, segalanya putih dan steril. Hanya kulitnya yang kuning langsat.

           Mungkin mereka lupa mendramatisir penampilannya dengan bedak geisha.

           Pintu ditutup dan lelaki keparat itu berdiri tenang menghadapinya, mengulas senyum semanis jambu.

           "Halo, Aurora!" sapa lelaki itu dengan ramah nan hangat. "Bagaimana kabarmu hari ini?"

           Ia melengos. Seringai muak terulas paripurna. "Memburuk setiap melihatmu."

           Gelak tawa menggema sesaat, mengiring ocehan yang bisa dipastikan akan menyebabkan radang pada hati dan otak. Jemari Aurora meremas sprei menahan gusar.

           "Jangan sinis gitu! Kita akan membicarakannya lagi. Dan ya, sekarang di luar sana sedang digelar pertemuan untuk membahas dirimu. Masa depanmu. Kau tahu, kau benar-benar—sudah sangat terkenal. Dunia mencatat namamu dalam sebuah misteri, seperti paradoks tak terpecahkan. Dunia sedang mengincarmu, mereka ingin memecahkanmu."

           "Melalui kau?" Aurora memutar bolamatanya, ingin sekali meludah dan melompat dari singgasananya untuk mematahkan kepala lelaki menyebalkan itu. "Misteri sampah! Kalian semua gila! Berapa kali lagi harus kuulang—aku tak punya apapun untuk dijelaskan. Aku tak tahu apa yang terjadi dan—please, berhentilah menanyaiku pertanyaan yang sama!"

           AURORA menahan diri untuk tidak menyerang ataupun menunjukkan garang kemarahannya seperti yang sudah ia tunjukkan selama ini. Kali ini ia akan bersikap lunak, diplomatis—meski tak yakin bisa bertahan dari insting barbar untuk menyerang. Ia tekuk lutut dan memeluk tungkai erat-erat. Sepasang matanya tak berkedip menantang sorot menyelidik si keparat. Ia tahu, lelaki itu sedang saksama mengamati dan menganalisanya. Seperti yang dilakukannya selama dua pekan ini.

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang