Chapter 40 : Elementalist

67 12 2
                                    

“Dia bernama Marc Roger Vanzoden. Selama 33 tahun aku hidup sebagai tawanan, dan selama itu juga aku berusaha melarikan diri darinya.”

Aurora menutup kembali blusnya yang tersingkap. Lantas bangkit dari posisi berbaring ke posisi duduk. Tatapannya menyerang lekat. Menunjukkan luka yang sebenarnya meregang di jiwa.

“Saat aku berhasil kabur—apa yang kau lakukan? Kau datang bersama gerombolanmu dan menyeretku kembali ke mulut monster itu. Terima kasih. Terima kasih banyak untuk kau dan ibumu yang tak henti-hentinya menghancurkan aku!”

VICTOR mengalihkan pandangan dari bekas luka tikam yang sembuh secara ajaib di dada Aurora. Ia kepalkan tangan yang sempat menyentuh bekas luka itu. Darah yang belum kering menempel di ujung-ujung jemarinya. Karena tak percaya dengan netranya, ia nekat menyentuh Aurora tepat di bagian luka. Tak ada reaksi defensif. Luka tikam yang cukup dalam itu benar-benar hilang tak bersisa. Regenerasi yang tidak masuk akal. Serum Juliet milik Sauron ditemukan mati di suatu tempat.

Ia tidak menyaksikan semua itu sendirian, Dinar dan Jengo juga menjadi saksi kesaktian Aurora. Istilah mutan yang selama ini disematkan rekan-rekannya pada Aurora tampaknya tidak keliru.

Detik ini Aurora sedang memojokkannya dengan tudingan-tudingan yang tidak ia mengerti. Menempatkannya di posisi bersalah. Aurora bahkan menyebut-nyebut keterlibatan mamanya. Victor ingin membela diri, menjelaskan bahwa ia tidak punya banyak referensi tentang situasi antara Aurora, Marc, dan mamanya. Namun ketika melihat air mata menetes dari pelupuk mata Aurora, ia tahan lidah untuk mendebat. Tidak baik menghadapi seseorang yang sedang emosional dengan bersikap emosional juga. Lagi pula keberadaannya di sini untuk mendengar, bukan beradu argumentasi.

“Apa menyalahkan orang lain atas penderitaan yang kau rasakan membuatmu merasa lebih baik?” Victor bertanya dengan nada setenang mungkin, meredam emosinya ke titik nadir. “Lakukan saja! Aku tidak keberatan.”

Aurora menggeram, menahan caci maki yang mungkin hendak dia muntahkan.

“Ku akui, aku tidak punya cukup informasi tentangmu sebelum ini,” Victor melanjutkan kalimatnya. “Aku bahkan tak percaya kau hidup… atau bahkan ada. Di mana aku saat itu? Belum lahir. Apa kau pikir aku terlibat pada setiap rekam jejak mamaku? Dia bunuh diri sebelum aku memahami siapa dirinya. Ya, aku tahu dia wanita berengsek! Dia memisahkan aku dengan saudaraku saat kami masih kecil. Dia memberitahuku beberapa pengetahuan terlarang, memaksaku tetap belajar sepanjang libur semester. Sepertimu, aku juga membencinya. Karena dia tidak menjelaskan apa-apa tentang segalanya. Bahkan jati diriku, aku harus jatuh bangun menemukannya sendiri.”

Victor melihat Aurora menarik napas panjang, berusaha mengondisikan emosi yang sempat meluap tak terkendali. Namun ketika sedang emosi, Aurora tampak seperti manusia normal. Satu keadaan yang tidak membuat Victor selalu waspada dan curiga. Aurora tampak benar-benar lebih manusiawi.

“Azura yang membuatku jadi monster seperti ini,” Aurora kembali mendesis lirih, melanjutkan penggalan kisahnya. “Aku seharusnya mati di bus itu. Seharusnya aku sudah mati dan bersatu kembali dengan cinta sejatiku. Dany ….”

Lantas Aurora menangis terisak-isak. Terlihat kacau sekali.

Victor menarik napas panjang, melirik Dinar dan Jengo bergantian sekedar ingin melihat bagaimana reaksi mereka. Dua manusia berbakat unik itu tampak menundukkan kepala, pandangan nanar entah kemana, diam-diam berkonsentrasi menyerap informasi melalui kemampuan indera plus mereka. Hanya dirinya saja yang masih mengandalkan lima indera untuk memproses informasi yang Aurora sampaikan—baik dengan tutur maupun gesture. Itupun, ia harus super bersabar menahan emosi dan super hati-hati saat bereaksi.

“Tenangkan dirimu! Aku ingin mendengar semua yang tidak aku tahu tentangmu.”

Victor menarik kursi dan duduk lebih dekat dari Aurora. Tentu saja, ia tidak tahu apa-apa tentang bibinya tersebut. Namun saat mendengar nama Dany disebut dengan nada bergetar, getaran yang sama juga merambat di hatinya. Ia bisa melihat cinta dan benci terpancar bersama. Cinta untuk Dany, benci untuk Azura—mamanya. Ia yakin Aurora juga akan membencinya jika ia terang-terangan membela mamanya.

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang