Chapter 36 : Polonium 210

283 40 10
                                    

“Kalau kalian merasa bagian dari Elit Ace, dan tidak ingin melihat dia mati konyol di sini, ikutlah denganku ke ruang medis!”

Ombak tinggi mengguncang kapal usai Marshall mengultimatum rekan-rekannya yang asyik berpiknik ria di geladak haluan. Sekilas ujung mata Marshall melirik Grandma Malina yang membelalak, tampak terguncang dalam dekapan lelaki botak bernama Edward. Jelas saja, Grandma Malina sangat terkejut melihat Dinar menjadi sandera, tak berdaya dalam ancaman moncong pistol, berpakaian pasien, dan sangat menyedihkan. Tanpa menunggu respon dari rekan-rekannya, Dinar kembali diseret oleh Marshall yang sedang merancang sebuah permainan gila dalam kepala.

DINAR terseok-seok, berusaha berkonsentrasi menghubungi Aurora melalui telepati. Namun gemuruh prasangka buruk yang terus terumbar pikiran Marshall membuatnya gagal. Berkali-kali gelombang otaknya gagal memasuki kondisi tranceyang biasanya mudah saja ia lakukan.

Aurora, di mana kau? Tolonglah aku! Muncullah sekarang!

Kali ini Dinar hanya bisa membatin. Berharap Aurora bisa melacaknya dengan bakat apapun yang gadis itu miliki. Marshall harus dihentikan. Jika tidak, ia terpaksa akan membongkar semua rahasia personel Ace. Keributan baru akan terjadi. Pada akhirnya, ia akan dirundung oleh mereka semua.

Kembali ke ruang medis, Marshall memaksanya duduk di sebuah kursi roda dan memasang seperangkat alat elektronik ke tubuhnya. Ia mengenal alat tersebut. Mirip seperti monitor hemodinamik, namun tampak lebih canggih dan kompleks.

Sembari memasang sarung tangan medis, Marshall, kali ini dengan sopan memintanya membuka pakaian hingga ke batas pinggang.

“Tolong buka dan turunkan pakaianmu!”

Dinar menurut, membiarkan Marshall menempelkan kabel-kabel elektroda ke dada telanjangnya dan ke pelipis kanan dan kirinya. Di saat bersamaan, pintu ruang medis didorong. Satu persatu personel Ace masuk dengan ekspresi waspada. Mereka tampak menahan diri untuk tidak membuat Marshall semakin reaktif.

“Albino, aku mengerti perasaanmu,” Edward bersuara rendah, mewakili rekan-rekannya yang tidak lebih bijak dalam berbicara. “Tolong jangan salah artikan apa yang kau lihat di haluan. Jangan anggap kami sedang bersenang-senang di atas kesedihanmu. Kami cuma lapar dan berusaha berpikir posit——”

“Di mana Victor dan Judi? Kau bisa lanjutkan pidatomu setelah mereka sampai di sini!”

“Judi? Bukannya dia sejak awal pergi menyusulmu?” Rain melempar tatapan tak percaya pada Marshall.

“Menyusulku?” Marshall memicingkan matanya. Diam sejenak. Lalu menggelengkan kepala. “Tidak, dia tidak muncul sama sekali.”

“Baiklah, aku akan pergi mencari mereka,” Fredo menawarkan diri, lantas bergegas keluar mencari Victor dan Judas.

Edward tiba-tiba membuka pintu yang beberapa detik lalu ditutup Fredo, lantas berseru keras. “Luccini! Judi mungkin di dapur bersama Franda, Lilac, atau Dearest. Dia sempat bertanya-tanya tentang resep masakan pada Grandma Malina. Mungkin dia sedang memasak sesuatu untuk teman kita yang belum makan.”

Ada jeda yang panjang, tak seorang pun bersuara. Edward baru saja mencoba melembutkan hati sang teman, namun Marshall bergeming, sibuk meng-install mesin yang kini terhubung dengannya melalui kabel-kabel elektroda. Dinar tak ingin membalas tatapan para personel Ace yang menusuk. Rain, Lizard, Grey, Sauron, dan Edward. Dari pikiran mereka yang bermonolog, Dinar mengetahui bahwa alat medis yang sedang terpasang di tubuhnya dapat difungsikan untuk mendeteksi kejujuran seseorang.

Marshall setan!

Menarik napas panjang dan tertunduk lesu. Dinar benar-benar tak habis pikir ia bisa berakhir di kapal ini, bersama para ilmuwan gila dan permainan gila mereka. Ia rindu rumahnya di kampung, ia rindu hutan-hutan angker tempat jin beranak-pinak, ia rindu menginjak lumpur, dan ia rindu ayam-ayamnya yang terlantar.

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang