Chapter 31 : Carpe Tempore

212 37 13
                                    

“Ponselmu dari tadi bunyi, Brat.”

VICTOR sudah lebih dari tipsi hingga tak sadar ponselnya menjerit-jerit. Marshall belum beranjak, tampak menunjukkan ekspresi ingin tahu saat ia bergerak malas menjangkau ponsel di atas nakas. Sebuah nomor tak dikenal. Otomatis saja ia menolak panggilan itu.

“Siapa yang kurang ajar menyebarluaskan nomor pribadiku ke orang tak dikenal? Tanpa izin pula!” Victor mendesis tertahan, kembali ke tempat duduknya dengan gusar. Sebotol sampanye sudah kandas bersama sebotol whiskey di atas meja. Sial hanya dirinya seorang yang minum, Marshall sama sekali menolak meski sudah ia paksa.

Detik kemudian, ponselnya kembali berdering. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sama.

“Aaah … Alan!” ujarnya usai membaca pesan. Lantas terkekeh seperti orang gila. “Kan …. Apa kubilang! Endingnya pasti selamat.”

Tanpa menghiraukan pandangan tak habis pikir Marshall, Victor segera menelepon balik nomor tersebut.

“Sori, sori, aku tidak menerima telepon dari nomor asing. Hmm. Jadi siapa yang kurang ajar membagikan kontakku padamu?”

Violetta,” Alan menyahut singkat sebelum balas berdeham mengatur suara.

“Sudah kuduga—that sassy savage bitch I can't deal with!”

“She’s just hate to work for you.”

Say to her, I just love it enough being hated,” Victor benar-benar mengucapkan kalimat itu untuk sosok lain dalam benaknya. Bukan, bukan Violet tentunya. Tiba-tiba saja seisi dadanya terasa panas. “Hey! Ngomong-ngomong bagaimana keadaanmu? Sekarang kau sudah tahu, kan—bagaimana kelakuan adik sundal terkutuk-mu itu?”

Ada yang lebih penting yang harus kita bicarakan. Tentang mama.”

Victor menggulung lidahnya, bungkam beberapa saat. Ia tidak bisa membuka percakapan tentang sang mama di depan Marshall dan Zeal. Yang benar saja—ia tahu Zeal ada di sana bersama Alan. Ia bisa merasakan eksistensi gadis itu mengingat keduanya datang bersama ke mansion sang paman untuk menyergap Plumeria. Sekarang temperatur panas dalam dadanya semakin tinggi dan memuakkan.

Soon as possible, kita akan bertemu di markas baru. Lokasinya tidak jauh di ujung dunia kok, masih di sekitaran Timur. Bersiaplah besok—paling lambat sampai malam. Kalian semua akan menyusulku dengan kapal pesiar Antonia. Lusa kita bisa bicara dengan tenang.”

Aku tak bisa menunggu sampai lusa, Anjing!

“Bersabar itu baik, Saudaraku!”

Apa kau tidak penasaran dengan apa yang sudah aku alami malam ini? Apa Elit Assassin belum melaporkannya?

“Lapor padaku? Ha ha. Aku belum jadi bos mereka, Alan. Belum. Jelas mereka masih melaporkan segalanya pada Maester. Oh, maaf, aku lupa, kau juga sama seperti mereka, kan? Anak-anak asuh Maester.”

Kau mabuk?” Alan menebak jitu sembari berdecih. “Kau pikir aku pasti mati ya?

“Tidak … aku tidak mabuk kok,” Victor tertawa megah. “Sebaliknya. Aku tahu kau tidak akan mati semudah itu, Alan. Kalau kau memang harus mati, maka kau akan mati malam itu—di Port Singapore—di tanganku—tetapi masha Allah … kau selamat. Dan aku tidak heran kalau kali ini kau juga selamat. Sebab kalau kau mati, cerita ini selesai. Ha ha ha. Ya, ya, ya. Alan! Aldebaran Hudson. Kau adalah pemeran utamanya. Bukan aku. Kau, saudaraku. Aku hanya figuran. Kau harus tahu kenyataan itu.”

Persetan dengan peran! Kau ambil saja berkah dari peran kotor yang selama ini kau lakukan. Aku tidak akan menghubungimu kalau ini tidak berhubungan dengan—kalau saja kau bukan—”

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang