Chapter 10 : Cancerous Ranger

305 53 11
                                    

         "Ikutlah dengan kami, maka kepala mereka akan tetap berada di tempatnya."

         AURORA baru saja keluar dari toilet alih-alih hendak kembali duduk di seatnya. Tetapi langkahnya putus di tengah jalan, ia dapati orang-orang asing bersenjata dalam jumlah yang cukup banyak mengepung dari segala arah. Tepat di hadapannya, dua wanita asing bersenjata tajam sedang menyandera dua lelaki asia yang tak ia kenal siapa.

         "Siapa kalian?" Aurora bertanya dengan nada polos. Sengaja.

         "Teman baru," jawab salah satu wanita penyandera dengan nada ceria.

         Lelaki pertama dibekuk dengan separo tubuh menempel telungkup di atas meja. Pelakunya adalah seorang wanita jangkung berambut pendek yang awalnya adalah waitress -- yang juga barusan menjawab pertanyaannya. Aurora ingat betul, dia adalah waitress yang menunjukkan letak toilet pada Dinar. Satu kaki bersepatu bot dengan santai menginjak punggung lelaki malang yang sedang menangis tanpa suara. Sebilah pedang kerucut berputar-putar siaga di tangan. Gerakannya sangat estetik. Aurora harus mengakui bahwa ia cukup terkesima. Wanita penyandera itu sengaja ingin menunjukkan betapa dirinya seorang pembunuh profesional. Nasib lelaki itu akan fatal bila terjadi sedikit saja kesalahan. Misalnya, mengayun lebih rendah pedang itu hingga ujungnya menyayat tengkuk si lelaki.

         Ngomong-ngomong, di mana Dinar?

         Aurora mendengus sembari menebar pandangan berkeliling, oh, Dinar sama sekali tak terlihat di manapun. Lantas ia coba mengonsentrasikan pikiran untuk mengetuk pikiran Dinar. Beberapa detik kemudian, baiklah, usaha telepatinya gagal. Lelaki itu jelas sedang berada di luar kondisi trance.

         Merasa penasaran, Aurora kini menoleh balik ke arah jalan menuju toilet. Ia andalkan kemampuan matanya yang mampu menembus horizon. Melalui permukaan lantai ia temukan Dinar masih berdiri bersandar di pojok toilet. Mulutnya tampak berkomat-kamit memanjatkan doa.

         Ck.

         Aurora mengutuk dalam hati, seketika geram pada Dinar. Doa tanpa usaha sama saja nol besar, Bodoh!

         Aurora menghembus poni sebelum membawa pandangannya kembali ke arah sandera satunya.

         Lelaki kedua tampak lebih berumur dan lebih tenang. Dia didudukkan di sebuah kursi. Seorang wanita cantik berambut coklat dikucir kuda -- sebentar, Aurora berusaha mengingat-ingat wajah cantik yang rasanya tak asing itu. Seakan ia pernah melihatnya tapi entah di mana -- baiklah, skip dulu. Saat ini wanita itu sedang memegang mantap sebilah pedang siaga menyita nadi leher sanderanya. Oh ralat, mata pedang itu bahkan telah menempel di kulit lelaki yang masih berusaha untuk lebih dan lebih tenang lagi.

         Salute. Lelaki itu sempat-sempatnya bermeditasi saat sedang disandera. Jujur saja, kali ini Aurora lebih terkesima pada sandera daripada penyandera.

         Selebihnya, di belakang mereka tampak barisan lelaki siaga dengan berbagai macam senjata api. Dari yang paling ringan diangkat sampai yang paling berat. Hanya ada seorang lelaki yang memegang pedang panjang, sejenis katana. Lelaki itu berwajah oriental, berusaha untuk tidak tampil mencolok dengan berdiri menyandar di sudut. Aurora juga merasa tak asing dengan wajah lelaki itu.

         Siapa mereka?

         Beberapa detik berkonsentrasi, akhirnya ia ingat siapa mereka.

         Aah, pilot dua jet dari sebelah kiri yang tidak terlalu menyebalkan seperti dua jet berengsek dari kanan. Aurora membatin sambil menganalisa kronologis serangan udara sampai situasi pengepungan terkini. Ternyata ucapan Dinar semalam bukan sekedar mitos. Ia diincar baik di darat, laut, ataupun udara. Orang-orang yang entah apa maunya ini akan terus memburunya seperti buronan paling licin di dunia.

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang