Chapter 32 : Karma

190 40 5
                                    

Untuk pertama kali, tampak sebuah pemandangan di luar ekspektasi di bawah kandelar-kandelar tinggi Hudson Mansion

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untuk pertama kali, tampak sebuah pemandangan di luar ekspektasi di bawah kandelar-kandelar tinggi Hudson Mansion. Rick, sang tuan rumah mengajak anak-anak asuh Jack untuk menikmati sarapan bersamanya. Siapapun mereka, sama sekali tak membuat Rick kehilangan etiketnya sebagai tuan rumah yang baik dalam menjamu tamu. Caranya memandang manusia tidak pernah pandang bulu. Jangankan manusia, binatang buas saja dia sayang.

ZEAL sangat mengagumi Rick, masih dan selalu, perasaan itu takkan berubah. Lelaki itu adalah panutannya setelah Ben Alison yang dijadwalkan akan tiba di Singapura pagi ini. Oh. Barangkali papanya tersebut sudah tiba di Changi sekarang. Jujur ia sudah tak sabar menunggu telepon dari mama ataupun papanya. Ia sangat merindukan mereka.

Hanya saja, ada satu hal yang sangat mengganjal dalam hati dan benak Zeal. Yakni misi para personel Assassin yang hendak menyeretnya beserta keluarganya mengikuti jejak Victor. Kemana tujuannya—hanya Tuhan dan orang-orang berengsek itu saja yang tahu. Kemarin malam Ace telah berhasil mendapatkan Aurora dan Grandma Malina. Assassin membantu mereka. Jujur saja, pikirannya tak bisa berpindah dari kata-kata Victor tadi malam. Entah apa yang sedang direncanakan ayah dan anak yang sudah bersekutu, Jack dan Victor memerintahkan misi itu. Entah untuk tujuan apa pula mereka mengumpulkan semua orang di satu tempat. Sayang Rick tidak diikutsertakan, menjelaskan bahwa lelaki itu steril.

Lantas, kenapa mama dan papanya juga harus ikut? Kenapa Victor dan Jack sepakat melibatkan mereka?

Pagi yang berat. Kini Zeal benar-benar merasa fakir pengetahuan.

“Terima kasih atas keramah-tamahannya, Tuan Hudson,” ujar Indi setiba duduk di salah satu kursi meja makan panjang. Segaris senyum terulas formal. Kehadirannya disusul oleh yang lainnya. “Selamat pagi.”

“Selamat pagi! Silahkan.”

Mengingat masa lalu, Zeal merasa ironis. Betapa lugunya ia waktu itu. Russian roulette. Bunker kapal selam. Ia, Rain, dan Fredo pernah hampir tewas untuk melindungi Ace agar tidak bersentuhan dengan Assassin. Ya, bahkan ada yang mati—satu kepala meledak tepat di depan matanya. Setiap detik yang pernah ia lalui bersama Victor—dari yang megah sampai yang receh—tak pernah terhapus dari ingatan walaupun sudah ia bakar dengan kebencian dan kekecewaan.

Mendengar suara lelaki itu saja, hatinya sudah seperti berdarah-darah. Rasanya seperti mimpi mendengar mereka berbicara—walau tetap saling sinis—paling tidak keduanya sudah menerima kenyataan bahwa mereka adalah saudara seibu. Pernah sangat sulit baginya menerima kenyataan bahwa lelaki itu mati, dan sekarang, sangat sangat sulit pula menerima kenyataan bahwa dia berpura-pura mati. Zeal telah melewati hari-hari berat, penuh depresi, dan air mata. Sekarang lelaki itu muncul tanpa rasa malu (walaupun memang sudah karakternya, tetapi kali ini benar-benar kelewatan). Bahkan lelaki itu juga rela menyamar jadi orang lain agar bisa menjadikan dirinya pasangan balap.

Itulah yang Zeal rasakan selama ini. Entah mengapa, sejak mendengar suara Victor kemarin malam, ia jadi overthinking, tak bisa tidur, gerah, dan gelisah. Ia hanya berbaring memandangi Alan yang tertidur pulas di sebelah, namun pikiran terus menerka-nerka segala sesuatu tentang lelaki sialan itu.

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang