Chapter 33 : Siren

237 40 7
                                    

Di salah satu pelabuhan kapal pesiar Thailand, Ace dan sekutu berpindah ke kapal yang lebih kecil. Hari masih buta, segala proses perpindahan berjalan lancar dan aman. Di kapal baru tersebut, hanya berisikan orang-orang yang telah disepakati untuk tinggal di markas gabungan saja. Tidak lebih dan tidak kurang.

VICTOR menarik napas panjang, udara pagi yang bersih terasa nikmat saat menjamah paru-parunya. Efek alkohol yang ia minum semalam sudah hilang. Tak ada alasan lagi untuk menunda pertemuan yang harus ia lakukan dengan neneknya. Grandma Malina beberapa kali memandanginya dari jauh, namun ia tahu mata neneknya itu sudah rabun. Barangkali Grandma sedang mencari-carinya di tengah keramaian orang. Ia harus minta maaf. Ia harus menjelaskan segalanya pada sang nenek.

“Di mana kamar Aurora dan Grandma-ku?” Victor bertanya pada Antonia yang sedang duduk di sebelahnya, mengemudikan kapal. Ia berada di ruangan kapten bersama Antonia, Lizard, Edward, dan Aldora. Kali ini wanita itu sendiri yang menjadi kapten bersama putri semata wayangnya.

“Biar aku tunjukkan kalau kau mau,” Aldora menawarkan jasa pemandu jalan.

“Oke.” Victor menatap gadis itu sebelum menyetujuinya. Ia tinggalkan Edward dan Lizard yang sedang kursus dadakan dengan Antonia. Sangat penting bagi para Elit Ace mengusai cara mengemudikan kapal.

“Ayo!”

Aldora lalu membimbingnya, berjalan di depannya sambil mengoceh tentang bagaimana ia terkesan dengan Aurora. Victor mendengarkan dengan saksama walaupun ia berpura-pura tidak tertarik sama sekali. Aldora memberitahunya kalau Aurora bisa melihat kejauhan dengan mata telanjang, jarak pandangnya hampir-hampir mengimbangi teropong binokular 7x50.

“Jujur saja aku terkesan. Kami ngobrol ini dan itu di haluan semalam. Dia sepertinya … tidak sedingin namanya.”

Victor tersenyum menanggapi, “Kalau nama Aurora kau asosiasikan dengan karakter dingin, bagaimana dengan namaku? Victor?”

“Aku pikir ... nama itu tidak boleh disebutkan, Avi.”

“Sekarang seluruh dunia sudah tahu aku masih hidup, jadi, tidak masalah lagi.”

Aldora meliriknya dan berpikir sejenak, “Hm … kau buronan.”

What—?”

“Maksudku, namamu—Victor—terkesan ... cukup maskulin untuk jadi incaran gadis-gadis dan wanita-wanita seperti … mamaku.”

Aldora terbata-bata, membuat Victor tertawa. Untuk pertama kali selama beberapa waktu, ia bisa tertawa selayaknya manusia normal. Aldora pun ikut tertawa. Gadis itu mengingatkannya pada Zeal. Pertama kali bertemu Zeal, gadis itu seusia Aldora dengan berbagai macam kegilaan dan selera humor yang kacau. Aldora tidak tampak seperti Antonia dan Tatiana yang elegan, gadis itu lebih santai, apa adanya, bahkan tampak sedikit berjiwa hippie.

“Kamarnya ada di ujung sana!” Aldora berhenti dan menunjuk ke arah sebuah pintu. “Eh. Hai, Fredo!”

“Hai, Aldora!” suara Fredo menyapa balik.

Victor menoleh dan mendapati Fredo berjalan di belakangnya. Fredo membawa ekspresi yang mengisyaratkan ada sesuatu yang harus ia ketahui. Sesuatu yang sangat penting. Memaksanya menarik napas dalam sebelum menanggapi keberadaan ahli IT itu.

“Ada apa?”

“Ada berita untukmu,” lagi dan lagi nada suara lelaki itu menjelaskan bahwa berita tersebut tidak enak didengar.

“Bisa menunggu. Aku harus menemui Grandma.”

Fredo mengangguk, mengisyaratkan bahwa ia akan menunggu dalam jangka waktu yang singkat. “Baiklah, di mana Lizard?”

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang