Chapter 5 : Telepathy

362 59 6
                                    

          "KAU!

          . . . .

          "Berengsek!"

          AURORA terperanjat saat mendapati keberadaan sosok lelaki di sofa pojok ruangan. Umpatan melengking. Lelaki itu duduk dengan pose tak berdosa. Sebuah buku tebal tergeletak di atas pangkuan. Lantas dengan gaya yang diatur senatural mungkin, lelaki itu mengeser letak kacamata, menoleh sekilas, dan terakhir membuang muka. Perhatiannya kembali jatuh ke buku, belagak fokus, sama sekali tak memberi tanggapan, dan seratus persen apatis.

          Merasa diacuhkan, jemari Aurora mengepal sekeras batu. Tekanan darahnya mendaki naik. Bibirnya berkomat-kamit menggerutu. Lelaki itu benar-benar sudah bertingkah kebablasan.

          "Apa yang kau lakukan, Ras - cal?" desisnya menghakimi. "Menguntit. Menyelinap. Wah. Hebat. Apa sekarang kau sudah jadi detektif?"

          Aurora benar-benar naik pitam. Dosa apa yang membuatnya harus kembali berhadapan dengan lelaki itu. Ia pikir hari-hari menyebalkan di ruang isolasi takkan terulang. Namun sekarang ekspektasinya tercoreng. Entah dari rimba mana, di sebuah hotel berbintang lima di sekitar Bandara Soekarno Hatta, dan entah untuk tujuan apa pula -- lelaki itu muncul secara ajaib di kamarnya.

          "Jawab. Apa tujuanmu yang sebenarnya?"

          Lelaki itu akhirnya bereaksi. Tanpa rasa malu mengulas senyum tengil. Matanya mengedip lambat seraya menutup buku yang sedang (pura-pura) dia baca. Kahlil Gibran. Lelaki itu menghela napas panjang sebelum membalas tatapannya.

          "Kau mau kupanggil nyonya atau nona?"

          Lagi lagi pertanyaan melecehkan. Retoris. Lelaki itu sengaja ingin menyulut murkanya.

          "Babi!"

          Mengumpat pelan. Aurora berusaha mengendalikan gejolak api yang membakar dada. Sudah cukup sore ini ia jadi bulan-bulanan nafsu lelaki jahanam dari masa lalunya. Vanzoden setan! Vanzoden babi keparat! Demi semesta. Ia tak ingin berurusan dengan lelaki manapun lagi. Terserah bila pandangannya ini sama sekali tidak bijaksana. Ia sudah memukul rata semua lelaki di planet ini. Baginya, mereka cuma punya perut dan penis. Otak mereka tak lebih dari sekedar aksesoris untuk menunjang kebutuhan perut dan penis.

          Menyedihkan.

          Satu-satunya lelaki yang memfungsikan otak dengan benar -- sayang sekali tak berumur panjang. Dia sudah mati. Bernama Dany Jans. Setelah kematiannya, planet ini hanya menyisakan bedebah-bedebah yang berlomba ingin mengambil keuntungan dari dirinya. Kalau bukan masalah kemaluan, barang tentu masalah materi. Contoh terdekat adalah lelaki yang sekarang sedang ia hadapi. Lelaki ini ... maunya apa sih?

          "Apa yang kau inginkan dariku? Jawab! Kenapa kau sampai berani menyelinap seperti penjahat?"

          Pertanyaan demi pertanyaan berulang ia lempar. Menumpuk tanpa digubris. Lelaki itu tampak masih mengulur waktu untuk menjawab. Dia hanya duduk dengan tatapan enteng. Masih dengan buku tebal di atas pangkuan. Dia, lelaki itu seakan ingin menunjukkan bahwa meski nuklir dijatuhkan atau badai meteorid meretakkan bumi, dia akan tetap santai. Aurora harus mengakui bahwa ia sangat terangsang untuk menjadi seorang pembunuh berantai. Khususnya melenyapkan mereka dengan karakter seperti lelaki itu.

          Satu menit. Dua menit berlalu. Habis sudah kesabaran Aurora. Meski baru selesai mandi dan masih mengenakan bathrobe, tanpa pikir panjang ia maju mendekati lelaki itu. Lelaki yang menurutnya teramat sangat menjengkelkan. Spontan dan berani, satu tangannya mencengkeram rahang lelaki itu dan tangan lainnya menuding lurus ke arah pintu.

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang