Chapter 35 : Metagenesis

279 39 8
                                    

JACK berjalan mengitari bibir pantai seorang diri, mengawasi horison yang samar tertutup kabut tipis. Sesaat ia masih belum percaya dengan bumi di mana kakinya berpijak—apakah pulau tropis bak surga ini nyata atau hanya ilusi ciptaan mutan sialan bernama Marc itu.

Pantainya jernih, berwarna hijau koral seperti iris mata Aurora. Pasirnya berwarna putih, lembut seperti kulit Aurora. Sebuah gunung dan perbukitan penuh cadas berada di tengah-tengah pulau, tampak keras seperti hati Aurora. Segalanya semata-mata tentang Aurora. Begitulah Marc memperkenalkan pulau tersebut ketika ia tiba untuk pertama kali di sana. Dari diksi puitis Marc, ia bisa melihat bahwa lelaki tua bangka tak tahu diri itu sangat tergila-gila pada Aurora.

Pantai, hutan, gunung, bukit, lembah, danau, air terjun, savanah, bahkan gurun pun ada meskipun luasnya tidak terlalu. Pulau itu bagaikan keping-keping setiap tempat indah yang ada di bumi, didesain dan disatukan oleh Marc seperti puzzle. Dari peta karikatur yang terdapat di gelanggang pertemuan Konsorsium Gabungan, pulau tersebut berbentuk lingkaran sempurna. Sangat aneh. Seumur-umur ia belum pernah tahu ada pulau di planet ini berbentuk bulat sempurna. Namun apa yang tidak mungkin—mengingat pria itu sudah mengaku bahwa dirinya adalah makhluk unggul melampaui manusia standar.

Seorang metahuman, homo deus, übermenschen, superman, mutant, dan entah dengan istilah apa ia harus menyebutnya. Orang-orang terkaya di planet ini pun takkan sanggup menyediakan material dan seorang ahli untuk membuat gaun stellarium yang ditempah Marc untuk Aurora. Hingga saat ini, perancang dan pembuat gaun itu masih dipegang oleh makhluk semesta lain, alien tak bernama. Jadi, kemungkinan besar pulau yang akan menjadi markas konsorsium gabungan ini juga sebuah maha karya.

Marc menyebut manusia (homo sapiens) sedang menghadapi ancaman kepunahan yang nyata. Depopulasi yang terencana ataupun tidak terencana. Untuk bertahan hidup, manusia harus meningkatkan kualitasnya menjadi manusia meta (homo deus). Bagaimana caranya? Entahlah, bagi Jack segalanya masih gelap gulita. Depopulasi bukanlah wacana baru; artificial intelligence hampir menggantikan peran manusia, wabah virus-virus baru sengaja disebar, perang dan pembantaian tak pernah berhenti barang mata berkedip, serta nuklir pun terus-menerus diujicobakan. Puncak dari rangkaian maha karya kaotis buatan manusia itu adalah seleksi alam. Fallout, supervolcano, dan perubahan iklim yang ekstrim sedang menanti manusia di masa depan. Marc meyakinkannya bahwa hanya homo deus yang mungkin mampu melalui situasi tersebut dengan selamat. Bumi akan jadi planet mati dan perjalanan mencari suaka di alam semesta baru akan dimulai pasca itu.

Kesimpulannya, hanya ada dua nasib yang akan menemuinya kelak. Mati bersama Bumi atau mencari suaka bersama kawanan mutan sialan.

“Arzu, Aurora, Marc, mereka tentu punya kemampuan unik. Lantas apa kemampuanku?” Jack mengoceh pada diri sendiri sambil berkacak pinggang frustrasi. “Astaga! Sedih sekali! Aku tak tahu apa keunggulanku selain mengubah anak-anak tak berdosa menjadi monster pembunuh tak berperasaan. Hidupku tak lebih tentang kamuflase tiada akhir.”

Ponsel Jack berdering, imajinasi tingkat tingginya tercekal sebuah panggilan dari Indi. Akhirnya perhatian Jack teralih dari distopia yang sedang ia konsepkan.

Master, aku ingin melaporkan situasi kami.

Jack meremas ponselnya lebih kuat. Angin pantai menampar rambut sebahunya yang tergerai bebas. “Katakan, Indi!”

Kami baru saja berhasil keluar dari laut teritorial Singapura. Ace memutus kontak dan meminta seluruh sambungan dialihkan ke Antonia. Zeal, Alan, Hannah, dan sepupu Lizardous—ada di sini. Kami tidak berhasil mengikutsertakan Ben Alison. Menurut pengakuan Kazumi, Ben disergap di Seoul dalam penerbangan transfer. Sekarang Ace dan Assassin kembali menjadi sorotan. Latar belakang terbaru Hannah dan Victor sudah terbongkar, sialnya juga menyeret organisasi lama kita. LMAO. Dugaanku, Plumeria yang membocorkan semuanya. Zeal masih dalam pengaruh bius. Hannah tak henti-hentinya menangis dan juga tidak mau berbicara pada siapapun. Bahkan pada Victor.”

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang