Chapter 16 : Medallion

297 51 6
                                    

Nagano, Japan

Hari macam apa ini! Kenapa tak seorangpun bisa membaca arti di balik ketenangan, ketentraman, dan kedamaian yang berlaku beberapa saat sebelum badai, gempa, dan tsunami susul-menyusul menerjang negara-negara di barat pasifik? Apa yang sebenarnya terjadi pada dunia?

ZEAL mengangkat pandangan ke langit gulita sebelum masuk ke dalam bak besi sebuah truk kontainer. Awan hitam tampak berarak dan bergulung-gulung. Tak ada bintang. Angin dan gerimis menjadi swan song dari rentetan bencana besar yang terjadi malam ini. Menarik napas dalam-dalam. Baru saja panitia balapan menobatkan dirinya dan Kazumi sebagai pemenang tunggal balapan yang sempat mereka ikuti setengah jalan. Tidak ada euforia, selebrasi, ataupun ucapan selamat. Segenap alam dan manusia, detik ini, bahkan sampah dan kotoran pun tampak sedang menggigil, mengheningkan cipta.

Ibaratnya, semesta seolah memaksakan kemenangan seorang Zeal Alison dengan cara menyapu seluruh pesaing melalui bencana tak terduga. Lima pasang peserta balapan masih hilang kontak dengan panitia, mereka diduga hilang dan tewas tersapu tsunami. Meski begitu, terlalu dini untuk menyimpulkan diri sebagai satu-satunya peserta yang bertahan hidup. Paling tidak, panitia telah mengeluarkan satu dari lima juta dolar untuknya dan Kazumi. Sisanya akan diberikan usai panitia balapan mendapat konfirmasi nasib peserta lain.

Mereguk untung di tengah bencana, Zeal merasa kebas hingga ke sumsum tulang belakang. Bila melihat korban yang berjatuhan, ia jadi malu melihat wajah seendiri. Ia terlalu hina untuk terus diberkahi kesempatan hidup lebih lama. Bersama rekan-rekan Ace (yang entah bagaimana telah siaga dengan sebuah truk penyelamat), ia tinggalkan Tokyo yang porak-poranda menuju Nagano. Sebuah kota di Barat Tokyo yang akan menjadi lokasi transitnya menuju Seoul.

Sepanjang perjalanan, Zeal duduk meringkuk di sudut bak truk. Sengaja menjaga jarak dari rekan-rekan Ace. Rain, Grey, Sauron, Franda, dan Kazumi tampak sama sekali tak ingin menggubrisnya. Seakan memahami betul kondisi psikologisnya yang sedang trauma akibat balapan dengan tsunami. Segila-gilanya ia sebagai penderita phobophilia, tak pernah ada dalam imajinasinya akan melakukan balapan dengan gelombang air laut yang mampu meratakan apapun yang dilintasinya. Beberapa kali ia cubiti  pipi sendiri, memastikan bencana yang baru saja terjadi bukankah mimpi.

Namun bukan bencana saja yang mendominasi otak Zeal. Ada sebuah misteri dan teka-teki yang sedang ia genggam erat, yang baru saja berhasil ia pecahkan, dan membakar jiwanya dengan rasa ingin membuktikan kebenaran. Spekulasi yang berkembang pesat dalam otaknya menjerit minta dituntaskan. Zeal Alison, bukan lagi seorang gadis lugu, naif, dan penuh kasih sayang. Ia sudah belajar banyak dari sejarah, pengalaman, dan orang-orang berengsek di sekitarnya. Dan untuk setiap kemarahan, mulai detik ini ia takkan memaki, mengutuk, ataupun menangis terpuruk.

Hati yang mati adalah sesungguhnya kematian. Sekarang sudah tiba saatnya untuk membunuh.

“Ha ha ha!”

Zeal terbahak seperti seorang pesakit jiwa, baru saja membuat semua kepala melongok heran ke arahnya. Perlahan dan pasti ia buka genggaman tangan yang terkepal. Sebuah medallion familiar terlempar jatuh, rantai peraknya tersangkut di sela jemari. Hamsa dan pentakel yang sempat hilang dan terlupakan kini kembali ke tangannya.

“Hari itu ... seseorang yang menculikku ke kapal de Monte ... memberimu kalung ini,” Zeal tersenyum sembari mengalungkan benda itu ke leher. Kemudian melanjutkan dramanya. “Dia bilang dia mencintaiku. Tapi aku tidak percaya. Cinta? Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin dia bilang cinta pada seseorang yang membencinya, yang sedang jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada lelaki lain. Adiknya sendiri. Oh. Tolol sekali dia itu!”

“Aku pasti masih koma saat sejarah itu terjadi,” sahut Sauron, berusaha bersikap responsif.

“Ya. Saat itu kau masih berkelana di atlantis pribadimu, Sauron. Kau benar-benar beruntung punya waktu berdua saja dengan penemuan gilamu. Serum yang kau perjuangkan akhirnya berhasil, bukan?” Zeal memasang wajah berbinar-binar. Gelagatnya membuat Rain memicingkan mata, tampak mulai kritis dan waspada. “Kau benar-benar seorang ilmuwan, Sauron. Kau, Marshall, dan Victor. Tiga pilar Ace yang berhasil menipu dunia dengan penemuan-penemuan manipulatif. Insane.”

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang