Chapter 29 : Black Umbrella

209 59 11
                                    

Hi! Pakabar wetpeters?
Baca la baca!
Ini cerita gratis selamanya.
Bakal ditulis seumur hidup.
Sama-sama kita menua menunggu akhirnya.
❤️💙💚

**

“Aku bersumpah demi Dewa Krisna. Aku melihat dengan mata kepala sendiri, gadis itu sedang mengiris-iris pergelangan tangannya. Dia menampung darahnya dalam sebuah baskom perak. Setelah itu dia memergoki keberadaanku di depan pin—”

Obrolan telepon seorang lelaki paruh baya berseragam awak kapal terputus ketika ujung matanya melihat sosok Marshall hendak berpapasan. Satu tangannya memegang ponsel dan satunya lagi mendorong troli makanan. Terlihat jelas awak kapal peranakan India tersebut adalah seorang pramusaji—enggan membagikan pembicaraannya pada siapapun—terkecuali seseorang yang sedang bertelepon dengannya. Pramusaji itu buru-buru memutus panggilan, menyimpan ponsel ke saku seragam, dan bersikap santai ketika langkahnya berpapasan dengan seorang tamu VVIP di kapal pesiar tersebut.

Marshall sedang menuju ke kompartemen Victor yang mengundangnya makan malam bersama. Marshall berusaha tidak peduli dengan seleret kalimat yang tertangkap pendengarannya. Seorang gadis, mengiris-iris tangan, dan menampung darahnya dalam baskom perak. Ah! Ada saja manusia halu!

VICTOR telah menanti kedatangan Marshall di sebuah meja bundar yang penuh dengan sajian dan sampanye bintang lima. Kompartemennya tampak luas, temaram, dan elegan. Tak terlihat batang hidung Elit Ace lainnya di sana. Victor hanya sendirian. Motifnya jelas sekali, Victor ingin membicarakan sesuatu yang bersifat pribadi dengan Marshall.

“Kau sudah bicara dengan mamamu?” Victor membuka percakapan setelah mempersilahkan Marshall duduk di hadapannya. Tangannya urung menyentuh pisau dan garpu. “Entah kenapa—perasaanku—tiba-tiba—tidak enak.”

“Aku pikir, seharusnya kau pantas mencemaskan Alan,” Marshall meraih botol sampanye dan menuangkannya ke dua gelas tinggi di atas meja. “Dia sekarat. Papa biologis tercinta-mu juga.”

“Aku juga pernah sekarat. Jari telunjukku nyaris saja menarik pelatuk yang mengarah tepat ke jidat Alan dan tiba-tiba saja waktu membeku, keadaan jadi berbalik. Pisau Alan menikam jantungku hanya dalam waktu sepersekian detik. Aku yakin, kali ini, untuk kedua kalinya waktu akan membeku untuk melindungi Alan.”

Victor tersenyum getir melihat Marshall menggelengkan kepala, tidak memahami kata-kata penuh teka-tekinya. Waktu membeku? Seorang Victor rupanya juga sedang halu—pikir Marshall. Lantas Marshall tak ambil pusing, sedang malas berpikir berat, bahkan untuk menjawab pertanyaan Victor tentang Hannah Eileen. Kapal sudah berlayar, sejak setengah jam lalu, Hannah tidak bisa dihubungi. Victor ingin tahu apakah wanita itu sempat berkomunikasi dengan putranya atau tidak sama sekali.

“Mama sebenarnya kesal dengan kesepakatan Ace dan Assassin untuk mengeksekusi Ejento-san dan rekan-rekannya. Kami sudah melewati perjalanan yang gila dari Pasifik ke Singapura. Perjalanan yang sangat-sangat fatal,” Marshall menyesap sampanye. Memutar bola mata seakan apa yang sedang dia ucapkan tidak penting sama sekali. “Badai, ancaman rudal di Megalodon, ledakan bunuh diri di kapal selam, ombak ganas Pasifik, aku dan mama sudah melewatinya bersama. Mamaku adalah wanita paling berani di alam semesta ini.”

“Aku apresiasi setinggi-tingginya keberanian kalian semua. Tetapi aku tidak punya pilihan, Marshall. Kita benar-benar harus mengerucutkan persekutuan. Kita bukan Ace yang independen lagi. Kekuatan intelektual kita tidak cukup melawan orang-orang yang ingin menghancurkan kita. Aku tahu hubungan mamamu dengan Ejento-san sangat dekat. Tetapi di belakang lelaki itu, ada orang-orang yang tidak bisa kita percaya. Laksamana dan para petinggi negaranya. Apa kau pernah berpikir kenapa sekutu kita membuatkan kita markas di tengah Samudera Pasifik?”

“Yaaa. Untuk mengepung kita dari segala penjuru.”

“Ya, mereka hampir berhasil menghabisi kita. Mereka sudah tahu kalau markas itu sudah diketahui agen negara-negara adidaya, tetapi mereka semua diam saja. Tidak memberi tahu kita sama sekali. Rudal itu adalah jawabannya. Berengsek!”

Marshall menganggukkan kepala, menarik napas panjang, dan memejamkan matanya. “Aku mengerti. Kita kehilangan banyak saintis di berbagai divisi. Kita terpaksa meninggalkan mereka, kabur seperti pengecut. Berengsek!”

“Lupakan mereka. Tak seorangpun dari mereka bersih,” Victor berdecak geram. “Mereka adalah mata-mata dari seluruh dunia untuk memantauku. Untuk mempelajari apakah kematianku benar atau hanya rekayasa, mungkin lebih dari itu, tentang serum-serum penemuan kita, entahlah. Karena sebab itulah mamamu turun tangan ke Pasifik. Menempatkanku di tempat yang aman di Tokyo. Menghentikan semua penelitian dan hanya memproduksi serum pesanan mereka. Kerjasama Ace dan Negeri Sakura dari awal sudah tidak kredibel.”

“Sebelum kau tahu siapa dirimu, fokus Ace hanyalah bisnis dan uang, bukan? Sekarang, setelah Jack menjadikanmu pewaris tambang berliannya, kita semua hanya berfokus untuk kabur dan bertahan hidup. Musuh Assassin jadi musuh kita. Entah berapa banyak musuh para pembunuh itu yang bahkan tidak kita ketahui. Tetapi yang jelas, dengan membunuh Ejento-san, para pembunuh itu sukses menempatkan seluruh keluargaku dalam bahaya.”

“Sebanyak apapun musuh mereka, tak akan mengubah kenyataan bahwa aku mewarisi darahnya, mewarisi pula musuh-musuh bajingan itu.  Aku sudah memikirkannya matang-matang, Marshall. Bahkan sebelum Indi mengeksekusi Ejento-san, mamamu bukan tidak tahu sama sekali. Hannah sudah mempertimbangkannya. Hannah tidak punya pilihan yang lebih baik. Kita semua tidak punya pilihan.  Ejento-san tidak bisa menolong kita seperti yang telah dilakukan Persaudaraan Assassin dan lelaki yang mengaku sebagai suami Aurora itu.” Victor menggerakkan garpu dan mencicipi makanan di hadapannya, hambar, sekilas ia teringat pada percakapan terakhirnya dengan Hannah Eileen di telepon. “Aku, kau, mamamu, dan semua orang yang mengerti betul seperti apa keadaannya—saat ini pasti mencemaskan keamanan keluarga Alison. Terutama kau, Marshall. Mantan sekutu kita tahu betul denganmu. Mereka punya rekam jejakmu. Menghilangnya Ejento-san akan menyeret Hannah dalam tudingan serius. Hannah akan dianggap pengkhianat dan mereka akan memburu kalian semua. Aku tidak akan lengah dengan pergerakan mereka. Aku sudah berjanji pada mamamu untuk menjaga kau dan Zeal sebagaimana beliau menjaga dan melindungiku selama ini.”

“Terima kasih atas niat baikmu, Vic. Tapi hiraukan saja aku, aku tahu cara melindungi diri sendiri,” cetus Marshall tak ingin terlihat tak berdaya. Meski tampak seperti tidak punya apa-apa, tetapi lelaki itu dikelilingi hal-hal mematikan yang hanya bisa dilihat dengan bantuan mikroskop. “Aku lebih mencemaskan mama dan Zeal. Mereka masih di Singapura.” Nada suara Marshall berubah tinggi dan ketus. “Zeal bahkan tak sudi melihat wajahku. Karena kau. Kau, Victor. Aku terlibat dalam manuver kematian palsumu dan Zeal membenciku karena itu.”

Victor membalas tak kalah ketus, “Marshall … apa lagi yang bisa aku lakukan untuk adikmu? Aku bahkan harus melepasnya demi keselamatannya. Walaupun aku, kau, dan Elit Assassin bekerja penuh waktu untuk melindunginya, aku tetap tidak bisa mengambil risiko. Aku bisa saja melenyapkan Plumeria, tapi bagaimana dengan bayinya? Membiarkan Zeal berada di dekatku sama saja menempatkannya dalam daftar kematian. Aku tidak ingin jadi penyebab kau kehilangan adikmu, Marshall. Aku tidak ingin dia mati sebelum melihatnya bahagia.”

Marshall terbungkam. Victor berhasil mengendalikan emosi rekan terdekatnya sebelum ia melanjutkan dialog lebih panjang. “Sekarang Elit Assassin  akan memastikan Zeal dan Alan akan ikut dalam kloter pesiar kedua. Mama dan papamu juga akan datang bersama mereka. Keluarga Alison akan berkumpul dalam markas gabungan kita. Tidak akan ada lagi rahasia. Semua identitas akan dijelaskan sejelas-jelasnya.”

Tak ada bantahan, Marshall percaya Victor telah melakukan segala yang terbaik untuk kebaikan semua orang. “Semoga hal itu segera terwujud. Aku ingin sekali Zeal tahu kalau aku adalah kakaknya.”

“Ya, Marshall. Aku juga tidak sabar ingin melamar Zeal—” Victor seketika kembali mendapat tatapan tajam dari Marshall. Victor terlalu cepat membolak-balik situasi, namun kata-kata yang sudah terlontar tak dapat ditarik lagi. “Untuk Alan,” lanjutnya getir.

Marshall berdecih tak sudi. Tangannya terkepal nyaris menghantam meja. “Yaaa. Kalau umur saudaramu itu panjang untuk kujadikan kelinci percobaan.”

Victor menganggukkan kepala, bersikap bijak untuk tidak melanjutkan percakapan tentang Hannah, Ejento-san, Zeal, Alan, persekutuan, pengkhianatan, dan kecemasan-kecemasan akan masa depan. Meskipun topik itu tidak keluar dari parlemen kepalanya, namun Victor tidak ingin membuat Marshall kehilangan seratus persen selera makannya. Dua lelaki itu melahap makan malam tanpa bicara. Sesaat hanya suara pisau dan garpu terdengar bergesekan dengan permukaan piring porselen. Sesekali gelas-gelas mereka tampak kering dan sampanye pun dituangkan.

“Bagaimana keadaan penyusup itu?” Victor kembali bersuara, mengganti topik begitu teringat pada Dinar yang telah ia suntik dengan bius mematikan.

“Dia masih ditangani Judi. Hampir tewas.”

Victor mengetuk permukaan meja dengan jemari, memikirkan efek obat bius yang telah ia lepas ke tubuh Dinar. Awalnya Victor mempersiapkan bius itu untuk melumpuhkan Aurora (kalau-kalau dia memberontak). Dosisnya sepuluh kali lipat dari dosis normal. Sekutu barunya—lelaki tua bangka yang mengaku-ngaku sebagai suami Aurora—memberitahu Victor bahwa Aurora imun pada segala macam obat-obatan berdosis normal. Victor benar-benar kesal ketika menancapkan jarum suntik itu ke pundak Dinar. Obat bius itu tentulah berefek sangat buruk pada si anak indigo.

“Isolasi dia kalau hidup,” Victor melontarkan solusi singkat yang terlintas dalam kepalanya. Berharap ia tidak benar-benar membunuh Dinar.

“Tidak usah sekejam itu lah. Aku bisa mengatasinya. Kalau kau izinkan.”

Well, well, kejutan apa lagi ini?” Victor menyahut semangat, diameter matanya membesar. Alisnya terangkat sebelah. Terakhir ia turunkan pisau dan garpu di tangannya untuk menanti jawaban Marshall.

“Aku bisa membuatnya kehilangan kemampuan berbahasa secara temporal. Serum Aphasia sudah kuuji cobakan pada Alan. Hasilnya sangat memuaskan.”

Victor berpikir sejenak, merasa belum cukup puas dengan jawaban singkat Marshall akan penemuan barunya. “Lisan dan tulisan?”

“Untuk tulisan, harus kuuji lagi kali ini. Tapi bisa kupastikan, kemampuannya akan lumpuh, bagaimana pun caranya dia berusaha.”

“Jenius!”

Victor tersenyum puas sembari menyesap sampanye di gelas panjangnya, merasa lega bahwa kemampuan abnormal Dinar bisa dijinakkan oleh serum buatan Marshall. Lelaki pembaca pikiran itu tidak lagi menjadi ancaman privasi setiap orang. Aurora, suka tak suka, harus menerima kebaikan hatinya yang telah melepaskan Dinar dari daftar kematian berkat serum tersebut.

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang