Chapter 14 : Veridis Quo

325 51 5
                                    

          AURORA dan Ibu Malina telah kembali ke chamber semula. Pintu dikunci dari dalam. Rencana untuk melarikan diri sepertinya harus ditinjau ulang dari akar-akarnya.

          “Jack?” tanya Ibu Malina dengan nada tak sangka, seakan jijik, seakan sedang menyebut nama reptil sekelas lintah atau nama lain dari setan. Beliau bersikeras, menekan ekspresi tak sependapat. “Aku tidak mempercayai dia, Aurora. Apa kau tahu siapa dia?”

          Mengedik dengan semangat yang padam, ia berikan hak-hak ibunya untuk menjelaskan dan meluruskan segala ketidaktahuan di antara mereka. Hanya saja ia yakin proses ini memakan waktu yang tidak sebentar. Pasrah. Ia berserah diri pada Tuhan untuk melepaskannya dari situasi sulit ini. Sekali lagi ia merasa jadi tahanan. Bila di ruang isolasi—tempo itu—ia merasa seperti tahanan seumur hidup, kali ini ia merasa bagai sedang menanti panggilan ke tiang gantung. Bukan paranoid. Ia hanya tak kuasa membayangkan betapa kejinya penawaran yang telah dialamatkan pada Rickard Hudson. Bukan menyalahkan lelaki itu, ia justru kasihan, ia tahu Rick terjepit pilihan yang mustahil. Dia hanya memiliki waktu 24 jam untuk memutuskan. Sebab entah di mana, ada nyawa yang sedang terancam. Masih bayi pula.

          “Jack itu adalah …”

          Setengah jam lebih ibunya menjelaskan identitas seseorang bernama lain setan itu. Mulai dari lelaki yang pernah mengkhianati cinta Azura, ayah biologis Victor, dan sosok di balik karakter pembunuh bayaran bernama Aldebaran. Tamat. Singkatnya Hudson dan Ismail punya masa lalu yang sangat buruk dengan King. Atas sejarah kelam itu, siapakah yang harus menanggung beban terberat? Tunggu, pastinya bukan Azura si perancang chaos. Tapi dirinya, Rick, dan Zeal—selaku ibu dari bayi yang sedang dijadikan tumbal. Bayangkan saja, dia hanya bayi yang tidak berdosa. Tidakkah—hidup ini sungguh adil!

          “Ibu baru saja membuat sebuah kesalahan besar karena sebuah perkara kecil,” Aurora berucap dengan tenang, tak ingin terpancing ataupun semakin membebani sang ibu dengan masalah yang sedang menyayat otak dan membakar hatinya. “Apapun yang terjadi di masa lalu, Jack dan Azura, tak ada sangkut pautnya denganku. Sekarang, pilihan D2 sudah lenyap, mereka sudah mundur untuk berkamuflase dari orang-orang A dan B yang semakin mendekat.”

          Ibu Malina menggeleng tak percaya, “Bagaimana kau bisa mengetahui semua itu?”

          “Aku melihat semuanya,” sahutnya cepat. “Ibu tidak percaya?”

          “Tapi bagaimana? Kau harus membuatku mengerti, Sayang.”

          “Dari pertama kali aku sudah bilang pada ibu—untuk mengantisipasi skeptisisme-mu—kalau aku tidak punya banyak waktu,” Aurora menggeleng dan menatap lurus mata sang ibu. Mendengus tertahan. Seperti dugaan, pertanyaan-pertanyaan Ibu Malina bermanifestasi bak pepatah mati satu tumbuh seribu. “Mungkin kau tidak akan percaya kalau kubilang aku bisa melihatmu berdiri di depan jendela itu, dari Amerika sana, dengan mata telanjang.”

          Ibu Malina membungkam sesaat, menatap balik mata sang putri yang begitu tajam. Berusaha merasionalkan pernyataan paling tak rasional yang keluar dari mulut putrinya sejak mereka bertemu kembali. Dari jarak dua meter, sang ibu takkan menyadari perubahan warna pada pupil mata Aurora yang memantulkan setiap objek yang sedang dilihatnya.

          “Bagaimana kau mendapatkan kemampuan itu, Aurora?” Ibu Malina kembali bertanya. Pertanyaan yang sudah ada dalam kepalanya. Aurora dengan mudah bisa menebak arah percakapan ibunya.

          “Sebenarnya aku memiliki kemampuan ini sejak kecil. Sejak umurku lima tahun dan Dany tujuh tahun,” senyum Aurora terulas sedih mengingat masa kecilnya dengan sang kekasih. “Ibu ingat suatu hari saat kami di usia itu, datang sepasang suami istri yang mengaku sepupu Paman Rhett dari Belanda hendak menjenguk Dany?”

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang