Chapter 7 : Aircrafts Parade

350 66 9
                                    

          ZEAL memandang nanar lalu lintas kendaraan dan seantero kota dari panel kaca penthouse apartemen ternama. Segalanya membentang hampa. Singapura terlihat bagaikan robot gigantis yang bergerak sesuai dengan mekanismenya. Tak ada rasa. Tak ada warna. Tak ada jiwa. Dingin. Kaku. Di matanya Singapura telah mati bersama Victor.

          "Gimme dat!"

          "You'll get more after Sammie come."

          Zeal dan Rain masing-masing menyeringai. Ia terlambat menggapai sebotol bir terakhir di atas meja yang lebih dulu diserobot mantan wakil Konsorsium Ace tersebut. Ngomong-ngomong, dari pengakuan orangnya sendiri, jabatan Rain sebagai wakil ketua Ace kini telah dicabut. Entah siapa sekarang yang menempati posisi kurang penting itu. Zeal sedang tidak mood mendengarkan kisah klasik Rain sesaat lalu. Ia hanya ingin menenggak minuman. Melayang.

          "Macan, saat Sammie-ku sadar dari pingsannya, kau pura-pura tidur, oke?"

          "Jajaja," Zeal menggeram keras. Jari telunjuknya terarah lurus ke botol dalam genggaman Rain. "Now gimme dat!"

          "Oke, Sayang. Tapi untuk ini ... kau harus menyanyikan sebuah lagu yang liriknya mencantumkan namaku. Rain."

          Zeal membatu sesaat. Diameter matanya membesar. Benaknya berputar saking tak habis pikir oleh tindak dan kemauan Rain. "Hah. Apa tak ada yang lebih penting dari itu?"

          Seraya tersenyum manis, Rain menggelengkan kepala. Zeal mendengus pendek, mengacak rambut. Lambat tapi pasti mulai memikirkan lagu yang akan membuat kemarau di kerongkongannya berakhir. Kemudian ia berdecih pada diri sendiri. Yaks! Mau-maunya ia dibodohi perempuan sundal itu.

          Beberapa detik kemudian Zeal mendapatkan lagunya, ia bangkit dan berdiri di sofa untuk mempersembahkan penampilan. Terlebih ia ingin tampil total. Bila tidak mabuk, ia takkan punya kepercayaan diri untuk bernyanyi seperti yang akan ia lakukan saat ini.

          "What?

          "Who me?

          Zeal merasa benar-benar sudah gila. "What?"

          "Need music, Lana?"

          Derren yang duduk di belakang meja pantry meneriakinya. Jarak mereka cukup jauh untuk berdialog tentang tetek bengek musik. Zeal mengibaskan tangan, memberi isyarat bahwa ia tidak butuh apapun selain sebotol bir yang sedang ditimang-timang Rain. Lelaki itu akhirnya mengangguk, tanpa melepas tatapan kembali mempersiapkan senjata sederhana untuk menyambut tamu spesial Rain, yakni Dokter Sam yang malang.

          Zeal berharap Tuhan mengampuni dosanya dengan meminta Derren untuk tidak terlalu menyakiti Dokter Sam. Beberapa menit lalu, saat mereka merancang manuver bersama, lelaki tampan itu berkata dengan santai;  "Cuma kejutan kecil, Vishkanya. Sam Hudson takkan sampai meninggal."

          Baiklah. Zeal berharap keputusannya tidak salah untuk bersekutu dengan dua delegasi Ace tersebut.

          "Bisa kumulai sekarang, Ms. Parker?" Usai melanglang buana, benak Zeal kembali ke pertunjukannya.

          "Wait, on the way to live streaming."

          Rain menyilangkan kaki dengan anggun, meletakkan botol bir di tangannya ke atas meja, meraih ponsel, membuka aplikasi, lalu menghitung satu dua tiga untuk mengomando ketukan masuk. Sekejap perhatian Rain sibuk dengan kamera ponsel untuk merekam penampilannya. Tanpa merasa bodoh atau peduli sama sekali, Zeal akhirnya bernyanyi serampangan untuk sebotol bir yang kini telah berpindah tangan. Entah siapa yang idiot sebenarnya? Harusnya ia tak perlu melakukan apapun lagi untuk sesuatu yang telah ia genggam.

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang