Chapter 39 : Ultimate Skill

57 16 1
                                    

KARENINA tiba di sebuah mansion yang lebih menyerupai kastil abad pertengahan. Ia disambut oleh beberapa pelayan kepercayaan Avos yang kini berada di laboratorium bersama murid-muridnya. Ada banyak sekali yang hendak ia laporkan pada sang kakek, namun tubuhnya tidak seantusias hatinya pasca menjalani bedah dadakan. Walau sudah tertidur sepanjang perjalanan dari Singapura ke Roma, ia sama sekali belum merasa pulih. Untuk berjalan pun tidak sanggup, ia harus mengandalkan kursi roda pintar.

“Sampaikan pada Avos, aku akan menemui beliau besok pagi,” ujarnya pada salah satu pelayan yang mengawal di belakang. “Aku harus beristirahat, memulihkan kondisi terlebih dulu. Sampaikan juga pada pengasuh, aku ingin melihat putriku sebelum matahari terbenam.”

“Akan saya sampaikan, Nona,” sahut pelayan tersebut sembari membungkukkan badan.

Kara masuk ke kamar, meninggalkan pelayan-pelayan yang membuntutinya di depan pintu. Di dalam kamar, ia mendapat sedikit kejutan. Matanya memicing ke sosok familiar yang sedang berdiri di dekat perapian. Sosok itu menoleh dari deretan foto berfigura kayu di dinding, menatap tajam sejurus, dan memberi isyarat agar para pelayan segera menutup pintu. Kara merasa terjebak, tak menyangka akan berkonfrontasi dengan Benjamin Alison dalam keadaan tak berdaya.

“Ben …”

Kara menyapa sosok yang belum menanggalkan wajah dinginnya. Sesaat ia tak bisa menebak agenda lelaki yang muncul tiba-tiba di kamarnya—menjadi orang pertama yang harus ia hadapi. Kara mengomando kursi roda pintar mendekati perapian, mendongak ke foto-foto Mami Flax yang Ben amati sebelum kedatangannya. Ia bisa merasakan kehadiran Ben memiliki alasan yang kuat.

“Ada hal apa sampai kau menunggu kedatanganku … di kamarku?”

Ben menoleh sekilas sebelum langkahnya berderap mengitari ruang. Lelaki itu lantas bergumam dingin. “Aku ke sini untuk mengevaluasi manuver bodohmu!”

Diameter mata Kara membesar, tak menyangka Ben akan menyerangnya pada kesempatan pertama. Kara tersenyum palsu, berusaha tetap tenang mengikuti suasana menyebalkan yang Ben ciptakan. “Oh. Kalau dari awal aku tahu kau akan seantusias ini mengevaluasiku … aku akan—”

“Kau baru saja kehilangan buruan besar. Aurora, Victor, Hannah, Zeal, Alan … Mereka melintasimu seperti angin yang tak bisa kau tangkap. Bagaimana? Apa kau sudah memetik pelajaran dari kegagalan besarmu ini?”

Senyum Kara berubah menjadi tawa tanpa suara, ia paling benci disalip dan disepelekan. “Aku belum gagal. Aku bahkan menikmati prosesnya. Perang dingin dengan Victor, bercinta dengan ketidakberdayaan Aurora, melumpuhkan dan memberi sedikit ciuman karma pada Alan, membuat putrimu semakin GILA, dan aku hanya belum menemukan celah untuk menyentuh titik sensitif Anastasia Maria Orlova. Mantan istrimu—yang jika mereka semua diibaratkan psikopat—dialah yang paling sakit.”

Kemudian Ben terdiam sejenak, kedua alis terangkat, seringai mencela tersingkap. Ocehannya tentang Hannah cukup menarik perhatian lelaki itu.

“Kesimpulanmu benar tentang Hannah,” Ben bersuara. “Dia tidak akan berkompromi sedikitpun, meskipun harus mempertaruhkan hidupnya dan hidup anak-anaknya. Kau lihat sendiri, dia tidak peduli sama sekali dengan Victoria. Dia tidak tertarik untuk masuk ke jebakan yang kau pasang. Selama ini, aku tidak bisa membawa Zeal ke sisiku. Karena bagi Hannah—Zeal lebih baik mati daripada menjadi musuhnya.”

“Kau seorang papa yang baik, Ben. Sayang sekali Hannah melakukan semua itu demi ibu tiriku. Mama Azura.”

“Bagiku Hannah dan Azura adalah dua manusia dengan satu jiwa.”

“Kau tidak kenal Mama Azura, Ben. Tidak, tidak. Mama Azura tidak seperti Hannah sama sekali. Dia akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan Alan dan Victor. Dia bukan ibu yang mengendapkan mesin beracun di tubuh anak-anaknya agar mereka tidak bisa dijadikan kelemahan.”

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang