Chapter 37 : Scenario

110 24 5
                                    

AURORA memantau ruang medis dari kabinnya. Meskipun ia diusir dengan sopan, bukan berarti ia benar-benar pergi.

“Aurora, apa kau yang membawa Dinar naik ke kapal?” ibunya bertanya dengan nada gelisah. “Apa yang terjadi padanya? Kenapa kondisinya jadi seperti itu?”

Tanpa mengalihkan fokus pandangan dari ruangan medis, Aurora menyimak pertanyaan ibunya yang tengah berbaring menyamping di sebuah ranjang kecil. Ia lalu menjawab dengan tenang. “Tidak usah memikirkan Dinar, Bu. Dia akan baik-baik saja.”

“Jadi benar kau yang membawanya?” rewel ibunya lagi.

Menarik napas panjang, Aurora akhirnya menganggukkan kepala setelah bungkam beberapa saat. Ia pun menoleh, membingkai wajah ibunya dengan seksama. “Bu, Dinar memiliki bakat intelejensi yang bisa membantuku mengenali watak orang-orang yang menyeret kita ke kapal ini. Aku dan Victor sudah sepakat untuk menanganinya. Dinar akan baik-baik saja. Percaya aku, Bu! Yang Marshall lakukan tadi hanya pelampiasan emosi sesaat.”

“Aurora, jangan sampai kau kelewatan, Nak. Dia bukan sandera.”

“Dia memang bukan sandera. Tidak ada yang menginginkannya di sini, kecuali aku. Ace masih alergi dan defensif dengan kemampuan Dinar, sedangkan Dinar masih kesulitan beradaptasi dengan sinisme Ace. Terjadi bentrokan di antara mereka semua. Biarkan waktu yang menanganinya. Sekarang, ibu istirahat saja. Akan kubuatkan teh jahe sebentar lagi.”

Ibunya mengangguk patuh dan menarik selimut lebih tinggi. Aurora sekilas tersenyum manis pada ibunya. Ia masih duduk bersila di atas tempat tidur, lantas kembali memantau ruangan medis melalui setiap celah dan lubang yang bisa dijangkau indera penglihatannya.

Aurora tersentak melihat semua orang sudah bubar. Dinar sudah dilepaskan dan ditinggal sendirian di ruang medis. Kini tampak Dinar sedang berbaring di ranjang rawat. Tampak sedang memijiti kepalanya. Tanpa menunggu lelaki itu selesai menenangkan diri, Aurora kembali menerobos masuk ke kepala Dinar melalui telepati.

Sudah selesai?

Tak lama kemudian, sahutan Dinar menghentaknya.

Aku tidak mau bicara denganmu.”

Kau marah padaku?”

“Menurutmu?”

Jangan marah ....

Sudahlah! Aku lelah.

Tapi aku penasaran.”

Bukan masalahku.”

Kau pasti lapar. Mau kubuatkan sesuatu?

Sudah ditangani mereka. Terima kasih.

Istirahatlah! Aku akan menjengukmu di ruang medis satu jam lagi.

Terserah!

Aurora menghela napas panjang sebelum berbaring di ranjang, ia hadapkan wajah ke arah ibunya di ranjang sebelah. Mata ibunya terpejam, baru saja terlelap. Ia pandangi wajah ibunya yang sudah keriput, tetap cantik meski sudah uzur. Membuatnya tak kuasa menahan senyum bahagia. Setelah melalui segalanya, ia bersyukur masih bisa bertemu lagi dengan Ibu Malina. Paling tidak, sekarang ia tidak merasa sebatang kara. Ibu Malina adalah orang pertama yang mencintai dan dicintainya. Saksi betapa bahagia masa kecil yang ia lalui di panti bersama Dany, cinta sejatinya.

Ke mana pun takdir berusaha menariknya, ia akan membawa Ibu Malina bersamanya. Sebab di pikiran bawah sadar Ibu Malina tak hanya ada kisah dirinya, Dany, Rhett, Mahatir, dan Ibu Rosario—tetapi juga terekam kisah para bedebah; Azura, Rick, Jack, Alan, Victor, dan Karenina.

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang