Chapter 34 : Picnic

246 35 7
                                    

VICTOR memanggil seluruh Elit Ace ke sebuah kabin berprivasi penuh. Baru saja ia memberitahukan segala yang lebih dulu Fredo sampaikan padanya. Bukan kabar buruk, bukan hal baru, dan bukan sesuatu yang membuatnya gentar mengetahui kebenaran bahwa dirinya adalah buronan dunia. Namun saat matanya menabrak tatapan hampa Marshall, saat itu juga ia merasa seolah-olah tanah pijakannya amblas ke bawah, langit terbelah, dan dunia seperti sedang kiamat. Ia terbunuh secara mental. Dadanya sesak dan tak sanggup melanjutkan kata-kata.

“Adakah kabar di mana mereka sekarang?” suara lirih Marshall mencacah hening semua orang. “Papa, mama, adikku, apa mereka masih hidup?”

Semua orang menutup mulut rapat-rapat. Victor menundukkan kepala dan menghembus napas panjang, terdesak oleh pertanyaan-pertanyaan Marshall. Untuk saat ini, tak ada kepastian yang bisa ia janjikan. Ia merasa tak berguna, tak punya kendali atas keadaan yang sedang terjadi di luar sana. Hal terakhir yang bisa dan akan ia lakukan hanyalah bersikeras pada optimisme. Ia sedang memaksa otak dan hatinya untuk berpikir dan mengharapkan segala sesuatu yang positif.

“Mereka pasti sedang berusaha.”

“Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk mereka? Dari sini?”

“Berdoa.”

“Berdoa?” Marshall menyeringai kecut dan mundur perlahan menuju pintu. Kemarahan terpendam di balik wajah hampa itu benar-benar membuat semua orang menjaga lisan. Tak ingin menambah butiran garam di atas luka yang sudah fatal. “Baiklah … aku juga akan berdoa untuk kalian semua.”

Marshall tampak berbalik badan, hendak meninggalkan kabin dan segenap manusia tak berguna di dalamnya. Namun suara Victor kembali menginterupsi sejenak.

“Aku kenal siapa Anastasia Maria Orlova—yang membawa kita semua keluar dari mata rudal—yang sudah menghancurkan Megalodon. Aku juga kenal siapa Hannah Eileen—yang akan melakukan segalanya untuk menyelamatkan anak-anaknya. Kau harus percaya padanya … melebihi rasa percayaku, Marshall.”

Marshall memilih pergi, membuka dan membanting pintu dengan kasar tanpa menunjukkan wajahnya lagi. Victor mengerti. Semua orang pun mengerti seperti apa rasanya takut kehilangan. Hanya saja ia benar-benar merasa bersalah karena tak sanggup memberi tahu Marshall tentang situasi Ben Alison. Ia dan Fredo sepakat untuk merahasiakannya sampai mendapat kabar terbaru. Kini Ace sudah putus kontak dengan Assassin. Victor yakin situasi ini merupakan manuver untuk menghindari pelacakan dengan cara apapun.

“Sekarang apa rencanamu, Vic?” Rain bertanya pelan, nadanya terdengar hidup segan mati tak mau.

“Aku dan timku bisa mencari mereka, kalau kau izinkan,” Lizard menimpali, menawarkan sebuah misi penyelamatan.

“Permisi!” Judas dalam jas medisnya menyela. “Aku ingin menyusul Marshall, memastikan dia baik-baik saja.”

“Kalian semua bisa kembali ke tempat masing-masing,” ujar Victor tanpa keputusan yang jelas, “dan kembalilah ke zaman batu, lupakan kalau kalian punya alat komunikasi.”

“Apa?” Terdengar sahutan tak mengerti.

“Gunakan otak kalian sebaik mungkin! Berkontribusilah supaya keberadaan kita tidak bisa dilacak. Kalian hidup di zaman satelit, radar, internet, AI. Untuk sementara, cukup Antonia saja yang akan terhubung dengan Assassin. Mengerti?!”

Victor bergegas meninggalkan kabin tersebut, mendahului rekan-rekannya yang tampak kesal dan tak nyaman.  Ia tidak ingin melihat reaksi mereka atas perintah untuk mengisolasi Ace dari dunia luar. Segala alat komunikasi harus dipadamkan. Victor benar-benar serius, tidak sedang paranoid. Ia tak ingin mengambil risiko rugi yang lebih besar. Ada banyak nyawa yang sedang dipertaruhkan.

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang