Chapter 9 : Dilettante Samurai

331 56 5
                                    

          "Samurai amatir."

          Suara lirih familiar datang memecah konsentrasi saat ia mengayun katana di tangan. Pedang itu berakhir lepas dari genggaman dan tertancap pada batang kayu di tengah arena. Berbulan-bulan, siang dan malam ia terus berlatih tanpa menghitung lelah dan cucuran keringat. Panggilan itu juga sudah akrab di telinga, dipopulerkan oleh seseorang yang ia kenal sangat menyebalkan. Siapa lagi kalau bukan Hannah Eileen? Baru saja wanita itu berhasil membuatnya tampak benar-benar amatir.

          Berengsek!

          Menoleh ke belakang, ia dapati Hannah Eileen berdiri bersedekap di selasar kayu tepian arena latihan. Menatapnya tanpa ekspresi. Ia tatap balik sejenak sebelum melengos dan mencibir dalam hati. Hah. Kostum macam apa yang sedang dikenakan wanita itu?

          "Cat woman."

          "Aldebaran Hudson."

          "Present. I'm listening."

          ALAN mengencangkan ikatan tali kendo gi putihnya sebelum mengenakan jubah kimono. Lantas melangkah lurus ke tengah arena untuk mengambil pedang yang sempat terlempar. Ia merasa harus mengakhiri latihan. Mengingat kunjungan Hannah Eileen kali ini tidak seperti hari-hari sebelumnya (yang secara terniat datang untuk mengejek dan menjatuhkan mentalnya). Kali ini, haha, setanpun ikut tertawa. Kehidupan stagnannya dalam penjara Konsorsium Ace akan segera berakhir.

          Usai menyimpan katana kembali ke sarungnya, ia selipkan pula pedang itu ke sabuk hakama. Lalu berbalik, melenggang gagah ke tepi arena, menyeka keringat dengan ibu jari, dan tak lupa menyunggingkan senyum terbaik kepada wanita berengsek yang sedang menantinya untuk bicara.

          "Banyak gaya kau!" desis Hannah seperti kobra siap menyembur racun. "Kau tahu waktuku tidak banyak."

          Alan berusaha bersikap bijak dengan menahan tawa. Tak ingin susah payah mengingatkan wanita itu bahwa membuat orang kesal adalah hobi prioritasnya saat ini. Jangan tanya kenapa! Sebab semesta dan segala makhluknya telah membunuh eksistensinya dalam setahun. Tak ada yang lebih memuakkan daripada dipenjara dalam markas di tengah samudera tanpa tahu bagaimana caranya untuk kabur.

          "Maaf, Ma'am, sudah lama saya tidak tebar pesona. Yang tadi itu, cuma sedikit pemanasan," Alan menyahut serampangan sambil menyingsingkan lengan kimononya ke atas siku.

          Kalau tak salah hitung, hari ini tepat setahun dua bulan sejak malam terkutuk di Port of Singapore. Empat belas bulan genap seorang Victor King telah mati di tangannya. Begitulah yang diyakini orang-orang. Kalau dipikir-pikir lagi, hukuman mati bakal jauh lebih baik daripada diasingkan, dipenjara, dan dibenci dari kejauhan. Terlebih tanpa kuasa untuk menjelaskan apapun, tanpa bisa mengusahakan apapun, dan tanpa tahu caranya menyelesaikan masalah yang tak terselesaikan di luar sana.

          Victoria.

          Ah, sebenarnya ia tak suka nama itu.

          Ia hidup tanpa tahu kabar apapun, tanpa melihat sama sekali, mereka. Hakikatnya, hidup seorang Aldebaran Hudson sengaja dipelihara untuk menjaga seorang Jackson King tetap bernapas.

          Itulah fakta yang paling menohok. Tak ada pengadilan untuk seseorang yang dikutuk jadi pembunuh. Semua terserah mereka yang merasa senior. Mereka yang berencana, mereka yang buat keputusan, mereka yang buat huru-hara, dan mereka pula yang menghakimi. Dirinya hanyalah serpihan debu kosmik.

          "Apa yang membawa wanita sekeren kau datang menemui seorang samurai amatir?"

          Tak sengaja, di tengah sekelebat arus nostalgia dan sedu sedan, sekilas ia melihat sosok mirip Fredo Luccini berjalan di lorong selasar menuju ke arahnya dan Hannah berada.

ANASTASIS : Beyond The Horizon (Rewrite in Process)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang