01 | PROLOG

56.3K 5.3K 71
                                    

"Bisakah kau berjanji satu hal padaku?" 

"Apa itu, Kangmas?"



"Ras?" 



"Jangan pernah meninggalkanku. Tak akan ada yang pergi ke nirwana terlebih dulu. Kita berdua, harus pergi ke sana—" ucapannya sedikit terbata karena isakan tangisnya sendiri. "—bersama."



"RAS!"

Gadis itu berjingkat di tengah lamunan yang membungkus otak kerdilnya. Ia terdiam sepersekon untuk menahan jantungnya yang berpacu secepat derai hujan di luar peraduan. Helaan gusar yang kentara kian menarik perhatian pria berkemeja batik dengan lengan kusut yang mengerutkan alis keheranan.

"Kenapa akhir-akhir ini sering ngelamun?" Ia mengangkat easel lukis yang mendadak Larsa beli di toko sepulang mereka kembali dari Surakarta. "Galauin siapa? Jangan-jangan kamu ada cowok di belakang Mas, ya?"

Laras berdecak sebal. "Sembarangan."

Lesmana terbahak seraya merapikan kembali tumpukan lukisan gagal di dalam gudang agar perkakas baru yang ia beli setidaknya bisa tersumpal. Barang-barang tua di dalam rumah antiknya rasanya masih bisa dipakai, sayang jika harus berdiam di dalam ruangan berdebu. Gaji yang ia habiskan untuk barang-barang baru sepertinya akan berakhir menjadi sebuah penyesalan.

"Oh iya, Mas denger dari Maldi kalau kamu bakal dateng ke pameran seninya Pak Wisnu sama dia? Nggak dateng sama Mas aja? Bakal jadi tamu VIP lho hahaha. Gelem opo ora?"

Embusan napas jemu terdorong dari dua lubang hidung Lesmana ketika Laras hanya terdiam dengan guyonan-nya kali ini. 

Tak biasanya manusia dengan humor setengah jongkok itu akan menganggurkan perkataan nyeleneh Lesmana, bahkan terkadang dia sendiri yang akan memiliki seabrek topik pembicaraan. Garis mukanya yang sulit diterjemahkan itu seperti menyimpan suatu hal yang menggerayangi otak bersihnya.

"Kenapa, toh?" Kedua alisnya mengerut menahan emosional mendalam. "Emang bener kamu pacaran diem-diem, ya?"

"Kenapa emang kalau Laras beneran punya cowok? Mau Mas nikahin sekarang juga!?"

Lesmana terbahak hingga Laras harus menutup kedua telinganya rapat-rapat. Suara tawa keras yang menggaung pada sepetak ruangan tanpa ventilasi membuat Lesmana terdengar seperti raksasa lapar. 

Entah Laras harus bersyukur atau merasa cukup tersungkur tatkala tersadar jika pria dengan rambut mullet itu adalah kakak sulungnya. Lesmana bahkan selalu berlagak jika ia adalah raja aliran realisme yang duduk sejajar dengan Gustove Corbert. Sungguh konyol, tapi ia nyata.

Sosok Laras yang terkenal ramah tapi jutek secara bersamaan pada kaum adam itu membuat Lesmana getol menggodanya. Menjadikan lelucon 'diam-diam pacaran' adalah jurus Lesmana yang no counter ketika sifat dasar wanita pada Laras mendominasi akal sehat—tidak ingin disalahkan.

Larasati Senja dan Lesmana Surya, magical duo yang sanggup menghebohkan jagad Yogyakarta, hanyalah sepasang kakak beradik yatim-piatu yang sedang bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Tumbuh di keluarga yang tak menyimpan banyak harta membuat keduanya seolah kenyang asam garam hujaman air mata. Tidak masalah bagi Laras, karena memiliki seorang lelaki gila yang terkadang bisa mengobati rasa gundah di dalam hidupnya adalah sebuah anugerah.

Laras berdengung, ia bingung harus bercerita dari mana. Bahkan, sejujurnya saja dia tak berniat membaginya. Hanya sekumpulan mimpi-mimpi beralur yang menguras otak tumpul, membuatnya selalu tepekur dalam sunyinya kekalutan. Lagi pula, sudah ada banyak pekerjaan yang megepulkan pikiran Lesmana, jangan sampai Laras bahkan menyeret lelaki pekerja keras itu untuk merasakan kegalauan seberat perut ikan paus juga.

JAYANEGARA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang