26 | [೫]

14.7K 2.8K 89
                                    

"Sudah selesai?"

Setelah berburu, Jayanegara akhirnya bisa bertemu dengan Laras. Berniat menghabiskan sisa waktu sampai matahari akan lingsir sebelum agenda padat akan kembali menghias hari yang rapat. Diam-diam ia mengajak Laras melewati gapura selatan, dan membawanya pada sebuah padang rumput luas. Menghela puas. Laras selesai dengan sebuah sentuhan terahkir yang diikuti sunggingan senyum tipis. Menjawab Jayanegara, kepalanya menyembul dari balik kanvas dan mengangguk.

"Sudah, Yang Mulia."

"Kangmas, Laras, Kangmas ..." Jayanegara cukup tidak terima jika Laras kembali memanggilnya dengan sebutan kehormatan. Ia tak suka, karena terdengar seperti ada begitu banyak jarak di antara mereka.

Laras terkekeh pelan, "Sudah, Kangmas." ulangnya memperbaiki.

Jayanegara meraih tangan Laras untuk membawa gadis itu duduk di sampingnya, "Bagaimana kau bisa membuatnya?"

"Aku hanya suka mencoba hal-hal baru. Dan bukan suatu kesombongan jika tanganku ini memang begitu berbakat."

Pria itu hanya mengatupkan bibir menahan kegelian. Ia kembali memandang lukisan gadisnya yang baru saja usai. Matanya berbinar penuh kekaguman. Setiap goresan yang tercipta terasa nyata dan terlampau sempurna. Aroma cat yang tercipta dari beberapa macam bunga samar-samar terhidu berpadu dengan harumnya aroma surai hitam Laras yang sedikit terbawa angin mengenai rahang Jayanegara. Kepalanya sedikit menoleh, ia meraih rambut Laras yang mengenai seperempat bagian mukanya itu dan memainkannya dengan jemari.

"Tapi ... kurasa, hasilnya begitu terlihat menakjubkan karena aku adalah pria yang berada di dalam luksan itu,"

Laras tertawa. Keangkuhan pria itu melesat kembali. Namun, Laras juga tak bisa pura-pura menolak jika Jayanegara memang memiliki pesona di atas rata-rata—benar-benar pesona khas seorang ningrat yang membuat keningmu akan mengerut karena aura yang pria itu miliki terasa berbeda. Laras sendiri sukar untuk menjelaskannya secara gamblang. 

Mungkin di luaran sana, ada begitu banyak pria yang bisa kau sebut rupawan, namun, hanya ada beberapa populasi di belahan Jawadwipa yang sanggup menggetarkan kewarasanmu karena ia memiliki apa yang tidak pria-pria rupawan itu miliki. Karisma. Begitulah secara terbelitnya Laras mendeskripsikan ketampanan Jayanegara.

"Bisakah kau mengajarkanku bagaimana tekniknya, Adinda?"

Menjeda, Laras yang semula membereskan peralatan lukisnya itu mengalihkan pandangan pada pria yang mengisi hatinya. Kepalanya sedikit miring dengan mata yang mengerling, sembari jari telunjuknya itu mengetuk dagu ringan, "Eung ... seribu keping gobog untuk belajar teknik dasar."

"Tidak ada lagi?" Dagunya meninggi dengan sombong. "Jika kau meminta sepuluh ekor gajah pun aku akan memberikannya, bahkan seluruh Majapahit."

Laras kembali terbahak sebelum memukul pelan lengan Jayanegara. "Kangmas berlebihan. Aku tidak ingin menjadi beban negara."

Gadis itu kemudian memberikan kuas pada Jayanegara, dan mulai menjelaskan tentang bagaimana konsep aliran tersebut menurut bahasanya. Menunjuk kabut-kabut tipis yang membalut Jayanegara dalam lukisan, Laras perlahan menunjukkan pula bagaimana cara pengerjaanya, dan bagaimana memadukan warna hingga kumpulan cat-cat yang menggores satu sama lain itu terlihat nyata.

"Kau melukis Ibu Suri Tribhuaneswari dan Ibu Narendruhita dengan aliran yang berbeda, bukan? Perpaduan warna lukisan para Ibu terlihat mencolok, tak ada perpaduan gelap terang atau bayangan. Tapi, kenapa kau melukisku dengan aliranmu?"

Laras menaikkan bahu sekejap. "Entah. Aku hanya merasa karena figur Kangmas sepertinya cocok saja dengan aliran ini. Karena aliran ini menitik beratkan emosi, imajinasi, dan ide untuk kembali pada keniscayaan sejarah dan alam. Aku ingin memberikan Kangmas sebuah suasana seperti dalam mimpi."

JAYANEGARA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang