38 | [೫]

17.7K 3K 76
                                    

Melihat berita di salah satu stasiun televisi, Lesmana ditemani Wisnu yang sedang bertamu—bukan, ngapel.  Disertai gemericik air hujan yang lagi-lagi turun menghujam rerumputan. Pria dengan kaos hitam yang terbalut track jaket polos itu terpaku pada berita yang tengah tersaji, kebetulan saja stasiun tersebut sedang mengupas situs Kumitir.

Tak peduli bila sudah sejak satu jam yang lalu Lesmana diam-diam mencuri pandang  ke arahnya, Wisnu hanya menunggu kapan mulut pria itu akan terbuka karena tak dapat menahan ketidak seimbangan isi kepalanya sendiri.

“Pak Wisnu udah dari kapan pacaran sama adik saya?”

Bingo!

Mengulum senyum, ia menaruh cangkir tehnya di atas meja, “Udah lama,”

“Berapa tahun?”

“Kalau saya jawab beratus-ratus tahun, kamu percaya nggak?”

Lesmana menyebik. “Ih bucin,” kepalanya kembali sedikit menjauh untuk menjangkau remot televisi. “Maksudnya kok saya nggak pernah tahu padahal saya udah lama temenan sama Pak Wisnu. Aneh aja gitu lho. Pak Wisnu sama Laras aja barusan ketemu, lha kok tiba-tiba udah peluk-pelukan aja. Siapa yang nggak syok.”

Wisnu terkekeh geli. “Maaf, ya, udah rahasiain dari kamu.”

Menghela napas panjang, Lesmana menyandarkan punggungnya pada sofa. Ia masih terlihat sangat tak terima dengan adik perempuannya sendiri yang menyimpan rahasia gila selama ini. Lesmana mengerti. Pantas saja Laras selalu menolak untuk bertemu Wisnu. Akting konyol itu hanyalah alibi agar Lesmana tak pernah menuai kecurigaan lebih pada gadis itu. Selama ini candaan Lesmana memang benar bila Laras menyembunyikan pria di belakangnya. Dasar rubah kecil. Tapi, setidaknya pria yang gadis itu sembunyikan adalah Wisnu Prawiranegara.

“Kalau gitu, sekarang saya minta restu kamu dulu,” sambung Wisnu.

“Ya kalau restu, iya-iya aja sih, Pak. Soalnya pacarnya Laras itu Pak Wisnu. Bukan jamet. Ayem.” celetuk Lesmana sebelum menyerongkan seluruh badannya ke arah Wisnu. “Tapi, Pak, saya mau tanya dulu,”

“Apa?”

“Adik saya ini pakai pelet model apa sih, Pak. Kok Pak Wisnu sampai kesemsem? Bocil kematian gitu kok. Kerjanya kalau nggak ngomel ya lari-lari.”

Perut serasa dikocok. Wisnu tak bisa menahan tawanya dengan ekspresi lawak Lesmana yang menyebik adiknya sendiri. Terlihat mencabar bila Laras benar-benar sanggup menggaet hati Wisnu. Maksudnya, menggaet seorang konglomerat? Gila saja.

Dhahar rumiyin, Bapak-bapak.”

Suara Laras dari arah dapur menggaung. Dua pria dewasa itu menolehkan kepalanya bersamaan. Mematikan televisi, mereka berjalan beriringan menuju ke ruang makan. Belum sampai kaki terpijak pada ubin lantai dapur, Lesmana dibuat tertegun dengan aroma masakan yang menyeruak kuat. Hidungnya menghidu aroma asing yang nikmat, sedikit familiar sebenarnya, hanya, aroma wangi sejenis ini belum pernah terendus olehnya.

Kuali tanah liat tersaji, menyuguhkan sup panas berkuah bening di dalamnya yang tak berkomposisi banyak jenis sayur seperti biasanya. Hanya ada potongan daging, dan, entah—mata Lesmana melihat satu jenis sayur saja, ia bahkan tak tahu bila ada sayuran yang memiliki rupa seperti itu.

“Sop apa sih, Ras? Kok aneh. Kamu delivery dari dark web, ya?" Lesmana nyerocos begitu saja.

Laras berdecak tak terima. “Gundulnya Mas itu yang dark web. Ini Jukut harsyan!" 

Salah satu makanan populer di era Majapahit, jukut harsyan adalah sup berisi daging bebek dan potongan tipis batang pisang muda. Dulu, masyarakat Majapahit senang mencampur sedikit kemenyan untuk menumbuhkan aroma harum khas yang bahkan dapat tercium dari jarak jauh. Pun, Laras memberikan kemenyan pula pada jukut harsyan yang dia buat, hanya sedikit, setetes. Itu saja sudah sanggup membuat Lesmana bergeming untuk menikmati aromanya yang harum.

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now