32 | [೫]

13.5K 2.7K 217
                                    

Nahas. Jayanegara tidak baik-baik saja.

Terbaring di atas ranjang dengan tubuh yang lemas, bibir pucat pasinya menunjukkan betapa tersiksanya ia dengan rasa sakit yang menggerayangi. Memejamkan mata meredam rasa lara, ia meneguk ludah pada kerongkongan yang kering. Jemari tak bertenaga dengan panca indera yang seakan sudah tak berdaya. Mati saja.

Buruknya, berita simpang siur perihal istri Ra Tanca yang diperlakukan tak senonoh olehnya itu telah menderu seantero istana seperti badai bergugus awan pekat. Reputasi Jayanegara kian hancur. Pandangan yang penuh cacat cela seolah kembali membalut figurnya dengan absolut. Apinya akan padam, sebentar lagi.

Memandangi langit-langit, Jayanegara menghela napas panjang. Malam rasanya kian panjang, lebih dingin dan mencekam. Takdir memang tak pernah memihaknya. Bagaimana rasanya menjadi seorang rakyat biasa dengan kehidupan yang normal? Tanpa sebuah bayangan jeruji besi yang mengikat nurani. Kenapa hanya Jayanegara yang harus memiliki hidup sekelam ini? Kenapa hanya ia? Kata Ibu Nareswari, hidupmu akan menjadi baik jika kau adalah orang yang baik. Namun, kenapa Jayanegara tidak?

Kembali terbatuk, ia menekan rahangnya yang mengetat. Jayanegara hanya membutuhkan sentuhan Laras. Ia merindukan pelukan gadis itu. Merindukan senyumannya yang teduh, mata indahnya yang kecoklatan, dan pukulan jahilnya yang menyakitkan. Sedang apa gadis itu sekarang ini? Apakah dia dapat tidur malam ini?

"Gusti Prabu, Yang Mulia Ra Tanca datang untuk mengobati Anda."

Abdi pria itu melangkahkan kakinya mundur setelah Jayanegara memberikan anggukkan lemah. Dipersilahkan masuk, Ra Tanca masuk sepersekon setelah sang abdi membukakan pintu. Entah atmosfer ini datang dari mana, namun telinga Jayanegara seperti dibisiki oleh kabut kebencian Ra Tanca. Pria itu tak langsung menelan mentah-mentah berita simpang siurnya, bukan? Atau, malah Ra Tanca sendiri lah sumbernya?

Namun, tak ada sedikitpun pikiran buruk yang terpintas pada kepala Jayanegara meski gurat muka Ra Tanca sudah menjelaskan semuanya. Mungkin, ia hanya terlalu naif sebagai seorang Raja yang tinggal dalam istana.

"Kapan Gusti Prabu memutuskan untuk mencari permaisuri?" Pria itu mulai menginterupsi. "Sudah saatnya Anda harus memikirkan soal keturunan untuk ahli waris, usia Anda bahkan melebihi batas aturan seorang Raja seharusnya menikah."

Jayanegara perlahan membuka matanya, "Aku sudah memiliki kekasih, aku akan menikahinya," jawabnya begitu saja. Impulsif.

"Dari kerajaan mana, Gusti? Atau, beliau adalah anak dari salah seorang Bhre?" Ra Tanca menimpali.

"Dia gadis biasa."

"Maaf jika menyela, namun, bagaimana bisa seorang Raja menjadikan gadis biasa sebagai seorang permaisuri, Gusti? Latar belakang sang wanita haruslah sepadan. Kenapa tidak menjadikannya sebagai selir? Gadis biasa yang tidak terdidik hanya akan menjadi batu sandungan dalam politik,"

Jayanegara mengerasakan rahangnya. "Gadisku tidak seperti seorang waisya yang ada dalam bayanganmu. Gadisku lebih terhormat dari yang kau kira ..." ucapannya terjeda untuk menolehkan kepalanya pada Ra Tanca. "... Dan, aku memang tidak berniat menjadikan kekasihku sebagai seorang permaisuri bagi seorang Raja. Karena, akulah yang akan turun takhta untuk menjadi suami bagi seorang gadis waisya."

Ra Tanca hanya terdiam menanggapi ucapan Jayanegara. Aroma obat menguar mencekal pernapasan setelah suara tumbukan dedaunan herbal menggelitik telinga. Ekor mata Jayanegara hanya melirik, memastikan jika dedaunan yang dimasukkan ke dalam tempat tumbukan itu sudah benar. Ra Tanca memang tabib yang ahli, namun, Jayanegara tak boleh lupa jika pria itu dulunya adalah bagian dari Dharmaputra. Tangannya pasti memendam kepahitan yang legam.

"Jika ..." Ra Tanca menuangkan air, hendak meluruhkan tumbukan rempah-rempah bercampur daun herbal itu untuk bisa menjadi obat. "... Kekasih Gusti Prabu tiba-tiba saja datang dan menangis, apa yang akan Gusti lakukan?"

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now