22 | [೫]

15.3K 2.7K 74
                                    

Jayanegara menolehkan kepalanya setelah Gitarja memekik. Senja telah menjadi sisa-sisa cahaya temaram, bersamaan dengan datangnya larik-larik rembulan yang mengisi kehampaan. Berpapasan ketika semburat keunguan itu sudah tenggelam, setidaknya Gitarja tak menginterupsi saat-saat Jayanegara untuk terbenam pada kekalutan.

"Seorang Putri kerajaan tidak meninggikan suaranya, Diajeng,"

Gitarja hanya terkikik—menutupi rasa bersalahnya akan bagaimana dia menyikapi kelemah lembutan Kakandanya itu dengan perilaku seenaknya. Dia menujukkan helaian daun lontar dengan aksara yang padat. Mata Jayanegara berkedip ketika tangan gadis itu dengan entengnya menunjukkan tulisan tersebut tepat di depan muka seorang Raja.

"Apa ini?"

Gitarja tersenyum dengan angkuhnya, "Entah ini kabar baik atau hal yang cukup disayangkan. Laras menyetujui tawaranku untuk menjadi salah satu seniman kerajaan yang artinya, dia akan tinggal di sini."

"Bagaimana keadaanya?"

Gitarja mengibaskan tangannya. "Sudah sangat baik. Benar-benar baik."

Bersama kembali dengan Laras adalah keinginan dalam hati kecilnya. Namun, tinggal di istana juga bukanlah hal yang tepat untuk gadis berhati bersih. Ikrar yang dia ucapkan sebelum berperang—jika dia ingin menghabiskan sisa hidupnya di Bedander—tidakkah dia lupa akan hal itu?

Bukan maksud Jayanegara menghancurkan impian Laras dengan memintanya untuk menolak saja tawaran Gitarja. Memang, sangatlah bagus bagi gadis waisya untuk menjadi seorang seniman kerajaan, dia bahkan dipanggil secara hormat. Namun, lagi-lagi, istana bukanlah tempat yang seharusnya untuk Laras. Bukan karena dia tak layak, namun karena  Jayanegara tidak ingin membiarkan konflik pelik keraton akan merenggut nurani gadis itu begitu saja. 

"Kau tidak memaksanya, 'kan, Diajeng?"

Gitarja menghela jemu ketika mata Jayanegara memicing padanya, terlihat seperti curiga sepenuhnya. "Demi Ibuku, aku bahkan menjabarkan segala hal yang akan dia dapatkan dan alami ketika dia memilih tinggal di istana. Dia hanya menjawab jika dia ingin selalu berada di sisi Kanda, itu saja. Itulah kenapa, dia memilih untuk menyetujui tawaranku,"

Jayanegara terhenyak sejenak. "Berada ... di sisiku?"

"Ya, ya ..." Gitarja menggaruk tengkuk sedikit kebingungan. "... Bukanya memang begitu seharusnya teman sejati?"

Jayanegara tak pernah berpikir jika alasan sederhana itu yang membuat Laras menerima tawaran Gitarja. Beribu pertanyaan kini membayangi pikirannya. Jayanegara hanyalah pria dengan segudang atmosfer kelam, tidakkah gadis itu seharusnya menarik ucapannya? 

"Kalau begitu, aku akan segera mengurus segala kebutuhan Laras dan berunding dengan Ki Gana perihal penambahan seorang pelukis baru. Aku harap sekarang dan seterunya, Laras akan bisa menjadi salah satu seniman Majapahit."

Gitarja berpamitan; meninggalkan Jayanegara untuk kembali berdiri sendirian. Mata pria itu mengikuti punggung Gitarja yang melenggang dari kediaman Raja, sebelum para dayangnya mengekor, lalu mengecil dan hilang dibalik dua bilah pintu emas berukir.

"Dia ingin berada di sisiku?" gumamnya malu-malu.

Sunggingan senyum penuh canggung menghias roman Jayanegara. Jari telunjuknya menutup bibirnya yang terkatup, mesem-mesem dengan mata yang mengerling. Bunga-bunga kemuning yang ia pandang adalah saksi konyol atas tingkahnya yang tak biasa. Apakah seperti ini rasanya orang kasmaran?

Ia menengadah, berterima kasih pada takdir yang telah mengirimkan gadis sempurna seperti Laras untuk pria rapuh nan tak berdaya.

Matanya melihat jauh pada gemintang yang menggantungkan diri. Di antara awan-awan pekat yang menutup bumantara, terselip banyak sekali mimpi-mimpi Jayanegara yang hampa. Hanya membicarakan angan pada angin. Menceritakan pahitnya saban hari pada udara yang menggulung. Menyapa embusan atmosfer yang membawa kedilemaan baru. Yang terakhir, bersandar pada bayu yang semu.

Gadis kikuk yang menghanyutkan selendangnya sendiri. Yang berani dan takut di saat yang bersamaan. Yang lugu dan jenius. Yang tak bisa meraih kepala Jayanegara karena terlalu mungil. Yang selalu protes karena jaritnya terlampau kencang. Yang pergi ke medan perang. Yang selalu mengomel. Yang akan memukul Adityawarman. Yang berbeda dan mematahkan stigma. Yang pantang mengemis belas kasihan—Jayanegara tak pernah membayangkan jika gadis seperti itu akan membuat hari-hari legamnya terpecah oleh secercah sinar.

Laras. Gadis terindah yang pernah Jayanegara temui sepanjang hidupnya. 

Jika takdir tak akan pernah membuat Laras bisa menjadi seorang permaisuri bagi seorang Raja. Maka Jayanegara yang akan membuat dirinya bisa menjadi seorang suami bagi seorang waisya.

Pun, Jayanegara. Ia saja tak ingin terus hidup dalam kegelapan istana yang tercerai-berai. Tak ada celah untuk bisa bernapas di balik megahnya bata merah bertumpuk. Takhta hanyalah rantai besi yang mengikat lehernya, dan keraton hanyalah penjara emas yang mengurung impiannya. 

Ada cara lain bagi Jayanegara bisa membuat Laras meraih impiannya, namun, tidak dengan istana. 

"Salam kehormatan hamba agungkan bagi Gusti Prabu," 

Adityawarman bersimpuh, bersamaan dengan Jayanegara yang baru saja berniat masuk ke dalam kediaman. Pria itu memberikan sebuah totem pada Jayanegara setelah matanya seakan melemparkan sebuah ancaman.  

"Itu totem milik Ra Semi yang aku temukan di Kahuripan." Ia memperingatkan. 

Rasanya tak mungkin jika Ra Semi akan pergi sampai ke luar wilayah Jawa. Tak ada armada yang bisa ia tumpangi. Berkuda pun, tak akan sampai. Ia pasti hanya bersembunyi di wilayah-wilayah terpencil yang tak pernah tersentuh tangan manusia. Mencarinya akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Ra Semi sudah hidup pada zaman di mana Majapahit baru saja tegak berdiri. Ia tahu celah-celah daratan untuk bisa menghilangkan diri. 

"Mencari secara terang-terangan akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Ra Semi tidaklah sebodoh itu." sahut Jayanegara. "Perintahkan pasukanmu yang kini sedang mencari untuk mundur, titahkan beberapa pasukan khusus untuk menyambangi daerah-daerah terpencil. Dan berlagak saja seolah-olah kita sudah menganggap Ra Semi mati. Kita harus menemukannya, selama apapun pencarian yang kita lakukan." 

Adityawarman mengangguk patuh. "Ah, dan Kanda──" ia menjeda ucapannya untuk mendekat pada Jayanegara.  "Jangan menggeser seinci pun iris Kanda untuk menatap Ra Tanca. Kita memang tidak menemukan satu bukti pun jika ia ikut memberontak, dan dari gelagatnya, sejak awal ia memang tidak tertarik untuk mengikuti Ra Kuti. Namun, Kanda tak boleh lupa jika ia juga merupakan salah satu anggota Dharmaputra yang menentang takhta Kanda." 

Ia kembali menjauhkan tubuhnya. "Aku bersumpah jika dia tak akan pernah menerima Kanda. Apalagi, kini seluruh anggota Dharmaputra sudah Kanda habisi. Aku pamit, aku harus segera pergi." 

Adityawarman menundukkan kepalanya sekali sebelum ia meninggalkan Jayanegara dengan totem milik Ra Semi dalam genggamannya; berjalan dengan tergesa untuk keluar. Kemiliteran Majapahit yang harus kembali ditata memang membuat kepala Adityawarman hampir pecah. Banyak perjabat-pejabat yang diturunkan, serta banyak pula tirani yang harus dieksekusi. 

Jayanegara kembali melihat totem itu. Ra Semi tidak ditemukan, dan keberadaanya yang masih belum jelas itu memang menjadi ancaman  lain baginya. Ra Tanca, seperti tidak ada yang salah tentangnya. Namun, Adityawarman selalu saja terus berprasangka tidak baik pada pria paruh baya itu. Tak ada yang tahu bagaimana masa depan akan terjadi. Dan Jayanegara berharap firasatnya hanyalah firasat buruk yang tidak berdasar. 





──Ⲋꫀᥒjᥲ ᥙᥒtᥙk Ꭻᥲᥡᥲᥒꫀgᥲɾᥲ──





JAYANEGARA ✓Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora