15 | [೫]

17.6K 3K 45
                                    

"Aku akan meminta Mada untuk mengantarmu melarungkan abu Wira,"

Masih ada sisa-sisa rasa canggung di antara keduanya yang membuat Laras sungkan untuk berlama-lama membalas tatapan mata Jayanegara. Setelah semua ini, sepertinya hubungan mereka akan benar-benar hanya sebatas Raja dan upik abu. Pantas saja Jayanegara mengatakan jika Laras tak akan bisa menemukannya lagi. Lagi pula, kenapa Jayanegara tak jujur saja sejak awal daripada membuat Laras salah tingkah seperti ini.

Laras hanya memberi anggukkan pada Jayanegara. Sebuah batu berukir, berbentuk mirip gerabah kecil yang berukuran dua genggaman tangannya, dengan simbol burung garuda dalam ukiran tutup batu yang sedang dia topang itu berisi abu mendiang Wira. Di kehidupan ini, sepertinya Laras hanyalah gadis menyedihkan, bukan sang tokoh utama yang akan menjadi pelopor perubahan dunia. Angannya saja yang setinggi Burj Khalifa.

"Kau ..." Jayanegara berhenti. Ia berada di ambang pintu seakan menahan langkah Laras──ia tak rela jika Laras akan cepat-cepat pergi. "... Kau yakin dengan keputusanmu itu, Laras?"

Gadis itu tentu tak memiliki pengalaman apapun dalam dunia kemiliteran atau bahkan teknik dasar dalam bertarung. Kekesalan dan gejolak emosionalnya yang meluap-luap sepertinya membuat dia memutuskan hal secara impulsif. Menerima segala sesuatunya bulat-bulat dan menjadi terburu mengambil kesimpulan akan terjadi jika dia terus kalut.

"Hamba belum mengetahui alasan Ra Kuti sampai tega untuk turut menghabisi kedua orang tua hamba. Itulah sebabnya hamba ingin mendengar jawaban langsung dari mulut Ra Kuti sendiri," jawab Laras. "Wira mati ditangan-nya. Jadi, hamba akan melarungkan abu Wira setelah pria itu juga mati. Ia harus menebus dosa-nya."

"Tapi kau tak harus mempertaruhkan nyawamu, Laras. Ada cara lain seperti mengirim pasukanku ke pertempuran. Apakah kau tak takut jika kau terbunuh?"

Laras menggeleng. "Hamba tidak takut dengan kematian. Lagi pula, hamba tidak memiliki siapa-siapa lagi."

"Lalu aku?" Masih dengan nada yang selalu dipoles lembut, Jayanegara berusaha mencari kedua iris Laras. "Apa aku ini bukan siapa-siapa untukmu, Laras?"

Laras terdiam dengan jari-jarinya yang mengerat. Kepalanya tertunduk dalam-dalam dengan rahang yang mengetat. Dia tak yakin jika berteman dengan seorang Jayanegara adalah salah satu keajaiban dalam masa lalunya, karena dia sendiri bahkan masih meragukan figur pria itu. Laras hanya merasa jika sebenarnya mereka memang tidak boleh dipertemukan lagi.

Jayanegara mencoba menarik napasnya perlahan. "Tidak seharusnya aku berbohong padamu sejak awal. Aku hanya takut jika kau juga membenciku saat kau tahu aku adalah simbol kebencian dunia. Jika kau menganggapku bukan siapa-siapa setelah ini, tidak masalah. Namun, kau tetap kuanggap menjadi teman terbaik dalam hidupku,"

Sungguh. Jayanegara memang terlahir untuk hidup sendirian. "Aku berjanji aku akan mengembalikan keadaan. Jadi, kau tak perlu lagi meragukanku." sambungnya.

Laras mengulum bibir ketika Jayanegara pada akhirnya menggeser tubuhnya untuk memberi ruang pada gadis itu agar dia bisa pulang, mungkin, lebih tepatnya agar mereka segera berpisah. Namun, entah kenapa kaki Laras rasanya tertahan tatkala pria itu terdiam menunggu kepergiannya. Jayanegara hanya memandangi tanah di depan kakinya, ia tak ingin melihat Laras.

"Saat pertama kali hamba bertemu Anda, yang hamba lihat pertama kali adalah seorang pria baik yang sangat tertutup. Anda misterius dan seperti paradoks berjalan. Pria yang terlihat tidak memiliki urat marah dan kesabaran sepanjang bentangan cakrawala," Laras terkekeh pelan. "Apakah diksi hamba terlalu berlebihan?"

Jayanegara menegakkan kepalanya, menyaksikan senyuman hangat Laras. "Sangat berlebihan." sahutnya.

"Anda bukan bagian dari dunia, Yang Mulia. Anda adalah bagian dari diri Anda sendiri. Hamba juga," sambungnya. "Hamba akan pergi ke Trowulan untuk setidaknya melihat kediaman keluarga hamba untuk terakhir kali. Karena jika hamba tidak mati ketika berperang nanti, hamba akan memilih Bedander untuk menghabiskan sisa hidup hamba. Jika, tidak mati."

Laras sendiri masih belum mengerti untuk apa dia ada di sini. Kenapa masa lalu ini harus kembali menjadi salah satu arsip penting di dalam otaknya yang kerdil. Rasanya, dia bahkan hanya sebagai seorang tokoh figuran yang payah nan ringkih.

Gadis berkasta waisya tak istimewa yang tak pernah dipandang dunia. Bersinggungan dengan Mada, Adityawarman, bahkan seorang Jayanegara-tokoh-tokoh agung yang tertulis di kitab-kitab dan ensiklopedi sejarah──membuat dia kian melabeli diri sebagai tritagonis yang ditumbalkan untuk mencapai tujuan cerita.

Kedua manik legam Jayanegara kembali memandang Laras, "Bolehkah aku mengantarmu ke sana? Mungkin sebagai perpisahan kita sebelum keadaan akan merubah segalanya."





❀⊱┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄⊰❀

"Kau tidak bisa mengatur-atur Gitarja seperti itu, Kala!"

Gayatri dengan genggaman tangan kuat serta langkah berang menghampiri Jayanegara. Tepat setelah makan malam selesai, wanita itu memberontak. Dia memandang Jayanegara dengan kilatan setengah amuk. "Kau melarang kedua anakku untuk menikah? Daripada memikirkan Gitarja dan Wiyat, pikirkan saja dirimu sendiri."

Jayanegara baru saja menghidupkan celupak⁶ yang padam. Kala, maksudnya Kalagemet. Sebuah ironi. Pria itu menghembuskan napasnya; berbalik untuk memandang Gayatri yang melihatnya dengan bengis. "Aku sangat menghargai impian mereka, Ibu Gayatri. Hanya sedikit waktu hingga mereka berdua menjadi apa yang mereka inginkan."

"Sedikit waktu, sampai kapan? Sampai Gayatri lupa jika dia adalah anak dari seorang permaisuri?"

Pria itu meletakkan celupak ke atas meja kayu, "Aku juga tidak pernah melupakan impian Ibu Gayatri," ia membersihkan tempat berdebu itu dengan tangannya sendiri agar Gayatri bisa duduk di sana, "Aku akan menjadikan Gitarja seperti yang Ibu inginkan. Kebahagiaan Ibu adalah kebahagiaanku juga,"

"Kau terlalu naif," pungkas Gayatri. "Ada dua warisan yang kau miliki sekarang ini. Mendiang Ibumu adalah wanita hebat yang bisa mewariskan sifat-sifat baiknya, namun, mendiang Romomu yang tangguh itu hanya meninggalkan kesendirian bagimu."

Gayatri memunggungi Jayanegara untuk segera berlalu. "Jika saja Raden Wijaya tak menjadikan seorang Putri Dharmasraya menjadi selirnya, hingga melahirkan satu-satunnya anak laki-laki dalam lingkungan istana, mungkin hidupmu tak akan menjadi setragis ini."

"Aku tahu, bagaimanapun dirimu, kau hanyalah seorang anak lelaki yang kesepian di mataku, Kala. Satu-satunya jalan untukmu bisa merasakan kehidupan hanyalah menunggu saat di mana Dewa akan menghampirimu dalam tidur, karena tak ada siapapun manusia yang berani menyentuhmu karena kau memiliki darah Rajasa. Bertanyalah pada Romomu, kenapa ia harus menghadirkanmu di tengah-tengah kami?"

Jayanegara hanya tepekur setelah Gayatri pergi. Wanita itu berkata seolah-olah dia memiliki rasa iba, namun, sebenarnya secara garis besar dia hanya ingin berkata jika keberadaan Jayanegara adalah sebuah kesialan yang tak pernah diinginkan di dalam istana. Memang benar.





──Ⲋꫀᥒjᥲ ᥙᥒtᥙk Ꭻᥲᥡᥲᥒꫀgᥲɾᥲ──

[6] Celupak adalah pelita sederhana tanpa gagang dan tutup maupun lubang sumbu. Sumbu pada celupak diletakkan pada bagian tepian yang menjorok keluar dan menyempit. Biasanya terbuat dari tembikar.

( celupak )

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

( celupak )

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now