29 | [೫]

13.4K 2.7K 71
                                    

"Entah kapan aku akan pulang ke Majapahit. Tapi, aku berjanji, aku pasti akan kembali,"

Dua bilah kusen jendela ruangan milik Jayanegara sedikit terbuka, menghunuskan embusan tipis angin sejuk dari gulungan samar udara. Ayam masih belum berkokok, ini masih terlalu dini untuk matahari bisa menyingsing. Cahaya bulan yang menerobos masuk memantulkan sepekat sinar untuk bisa membuat netra indah Laras berkilat-kilat—membuat Jayanegara semakin enggan untuk mengalihkan pandangan barang sejenak.

"Benar kau berjanji?"

Bukan perihal mempertanyakan kesetiaan Laras terhadap Majapahit atau bahkan Jayanegara. Ia hanya cemas bila sesuatu yang malang mungkin akan menjadi salah satu takdir Laras. Ia tak tahu apa yang akan terjadi di luar sana, sebab alam bahkan lebih kuat dari kokohnya tembok istana, dan takdir tentu lebih mengejutkan dari rencana matangnya. Namun, bagaimanapun juga, takdir tetap harus membawa Laras pulang pada Jayanegara.

Bibir gadis itu mengulas senyum. "Dengan kesungguhan hati, Kangmas."

Mengambil tusuk konde dari gelungannya, membuat tatanan rambutnya itu terlepas. Surai hitamnya terurai. Tusuk konde yang ada di dalam genggamannya dia ulurkan pada Jayanegara. "Aku akan meninggalkan tusuk konde ini, dan lukisan Kangmas. Dengan itu, maka Kangmas akan terus bisa mengingatku,"

Tangan Laras mengusap telapak tangan Jayanegara. "Jika aku kembali nanti, aku berjanji aku akan memberikan senja yang paling indah untuk Kangmas."

Jayanegara tersenyum seraya menganggukkan kepala. Rasanya seperti baru kemarin dia bertemu dengan seorang gadis muda atau ... terlihat seperti gadis kecil yang kehilangan selendang? Wajah mungil dan garis muka yang tak menunjukkan jika dia sebenarnya adalah orang dewasa yang memasuki usia 21 tahun membuat Jayanegara nyaris gila karena khawatir jika dia baru saja mencintai anak kecil. Bukan salah siapa-siapa, melainkan ini adalah perpaduan yang seimbang. Laras yang terlalu mungil dan Jayanegara yang terlalu tinggi.

Rasanya tak rela ketika pria-pria bangsawan mulai bergunjing, mereka mulai melirik Laras untuk dijadikan sebagai selir. Hal yang Jayanegara sangat benci adalah ketika mereka mulai berangan liar dengan tubuh molek Laras. Kemben yang melilit dada sintal kekasihnya memunculkan lipatan terlarang hingga membuat bagian bergunduk itu seperti akan tumpah, selendang tebal hanya menutup seperempat bagiannya. Jika selendang Laras tertiup angin, maka sudah, Jayanegara akan diam dengan segala kemarahan dalam kepalanya. 

Berusaha mengurungkan niatnya untuk mencolok mata pria-pria bangsawan itu dengan taji. Jika memang pikiran kotor mereka tak bisa terbendung, pergi saja menemui jalang-jalang muda di rumah bordil, bukan malah menjadikan seorang gadis lugu sebagai objek. Memang pada dasarnya mereka hanyalah pria-pria gila berotak tumpul. Pria dengan pikiran menjijikkan. Mereka yang seharusnya diberikan label sebagai pria tak bermoral. 

Baik, kini Jayanegara malah mengomel dalam batinnya. Begini akibatnya jika hubungannya dengan Laras masih disembunyikan. Pria-pria tak waras itu tak tahu, gadis yang mereka dambakan adalah gadis milik Raja.

"Kangmas ini kenapa?" Laras terkekeh ketika Jayanegara sendari tadi hanya terdiam.

Kepalanya menggeleng pelan sembari menyunggingkan bibir. "Tidak papa, hanya memandangimu sampai aku setidaknya bisa melepas kerinduan."

Tangan Laras menutup mulutnya, dia tertawa. "Kangmas, aku bahkan belum beranjak dari istana."

Keduanya terbahak sebelum Laras tentu akan memukul pelan dada Jayanegara. Bukan hanya satu atau dua kali. Di banyak sekali pertemuan keduanya, jika sedang tertawa, Laras akan memukul bagian tubuh Jayanegara mana saja yang bisa diraih. Paling sering adalah punggung dan dada. Benar, karena salah satu love language Laras adalah physical attack. Sepertinya dia lupa jika Jayanegara adalah seorang Maharaja.

JAYANEGARA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang