37 | [೫]

18.2K 3K 88
                                    

“Kenapa pagi-pagi mukanya ditekuk?”

Telunjuknya mengarah pada sudut kosong pekarangan rumahnya. Pot bunga porselen impor miliknya itu pecah karena angin ribut dan hujan lebat semalam. Pun anggrek bulan putih di dalamnya yang cukup mahal tercerai berai begitu saja dengan sadis. Susah payah Laras merawatnya, namun badai merenggut bunga kesayangan Laras secara paksa.

“Anggrek putihnya Laras, Mas ...” sahutnya lemas.

Lesmana tak dapat menolong, karena dari semalam pria itu tak pulang. Selepas pulang dari Solo, ia harus pergi ke Jakarta untuk menyelesaikan proyek. Sungguh sibuk. Tipikal pria workaholic yang sukar didekati wanita.

Terkekeh kecil, Wisnu mengusap puncak kepala Laras. “Pulang dari Kumitir, Mas beliin anggrek bulan mejikuhibiniu se-pot-nya.”

Gadis itu hanya menghela napas. “Nggak usah deh, Mas. Lagian juga bentar lagi Laras sama Mas Nana mau pindah cluster kok, kata Mas Nana mau cari rumah yang lebih luas biar bisa ada studio pribadinya. Uang Mas Wisnu ditabung aja buat nikah suatu saat,”

“Nikah sama siapa?”

Gadis itu mengerjapkan matanya lugu, “Nikah ... sama Laras?”

Kembali dibuat tertawa, Wisnu menutup mulutnya menahan kegelian. “Kamu minta nikah sama Mas sekarang, Mas langsung nikahin. Nggak perlu nunggu tabungan.”

Tersenyum bodoh, Laras menggaruk tengkuknya kikuk. Bagaimana bisa dia lupa bila pacarnya adalah seorang konglomerat. Uangnya bahkan sudah sesak terjejal dalam bunker besi super tebal. Perkara menyewa ballroom atau membayar wedding organizer, bahkan menghidupi sepuluh anak pun aset-nya tak akan habis.

Kendati penampilan Wisnu terbilang sederhana, namun koleksi mobil-mobil mahal yang tersembunyi di dalam garasi rumah-nya akan dapat mendidihkan darah siapapun dengan cepat. Tak dipungkiri, old money.

Sebuah Jeep Rubicon milik Wisnu saja sudah menjelaskan dari kasta mana sebenarnya pria itu berasal. Atau, setelan sederhana dengan merk tak mencolok yang sehari-hari ia kenakan bahkan bisa ditafsir mencapai hampir sekian puluh juta sekali pakai mungkin saja—kemeja linen, celana kain, dan sepasang sepatu oxford yang mengkilap. Serius.

Ya, hidup Laras memang berkecukupan, namun, jika dibandingkan dengan harta Wisnu, kekayaan Laras dan Lesmana tentu tidak ada apa-apanya. Laras benar-benar pusing. Perbedaan kelas membuatnya ingin saja melamar sebagai salah satu pembantu rumah tangga Wisnu.

Jemari Wisnu meraih tangan Laras, sambil masih berusaha menahan kekehannya. “Mas nggak lagi kode-kode kok, Ras. Mas cuma ngomong aja. Udah, ayo berangkat, ada yang mau Mas tunjukkin.”

❀⊱┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄⊰❀


Laras tak menyangka jika Wisnu sangat mengenal Bhuan. Pria itu bahkan dengan mudahnya memiliki akses untuk masuk di tengah-tengah kegiatan ekskavasi yang masih berlangsung. Ah, keluarga Prawiranegara itu terpandang, tak ada yang tak mengenalnya. Lagipula, kepopulerannya sebagai seorang seniman pula yang membuatnya terasa seperti orang ekslusif yang dapat memiliki akses lebih di manapun ia berada.

“Pak Wisnu kenal sama Laras?”

Memandangi Wisnu dan Laras bergantian, Bhuan terlihat masih tak percaya. Ia bahkan benar-benar baru mengetahui bila Lesmana dan Wisnu juga berteman dekat. Satu hal yang menarik, usia Wisnu memang tak setua itu untuk wajib disebut Bapak. Namun, statusnya yang sebagai orang besar, dan unggah-ungguh Wisnu yang sangat bagus membuat siapapun getol memanggil-nya “Pak Wisnu”—sebagai tanda jika pria itu benar-benar disegani dan dihormati.

Wisnu hanya mengangguk sebagai balasan. Sepersekon, Bhuan ikut manggut-manggut seraya mengambil cup kopi panasnya. “Oh, Laras murid barunya Pak Wisnu, ya? Atau lagi ngadain proyek?”

JAYANEGARA ✓Kde žijí příběhy. Začni objevovat