34 | [೫]

15.6K 2.8K 78
                                    

Perlu Mada tahu, mungkin hanya Laras—satu-satunya orang yang mengetahui bagaimana peristiwa tersebut terjadi bahkan meski gadis itu tak pernah ada di sana. Di masa lalu yang seharusnya, Larasati mungkin hanya bisa terdiam menduga-duga di dalam pikiran kerdilnya. Namun, Larasati yang saat ini, hanya bisa terdiam dengan selaksa aksara Negarakertagama dalam pintaian otaknya.

Bagaimanapun Mada akan berusaha, dan bagaimanapun hebatnya ia, pria itu tak akan pernah tahu sejauh apa sejarah akan terus memihaknya. Mada perlu tahu, bila jari-jemari sejarah pun akan meremukkan ambisinya juga. Perang Bubat adalah akhir dari keperkasaan-nya kelak. Tak ada yang bisa Laras rubah, pun, percuma jika dia bertindak gegabah. Akan ada masanya, di mana takdir benar-benar akan menghancurkan satu per satu pilar-pilar kokoh sejarah, bahkan yang terkuat sekalipun.

“Kanda Adityawarman menemukan ini di dalam ruangan mendiang Kanda Jayanegara. Aku membawanya ke istana Bhre Wengker agar tetap menjadi sebuah rahasia,”

Selepas kematian Jayanegara, Gayatri kembali membuat sayembara untuk menikahkan Gitarja dan Wiyat. Tak ada pilihan lain, punggung yang selalu menjadi benteng Gitarja itu sudah runtuh, tak berbekas. Hanya menyisakkan puing-puing pilu dengan sepekat impian yang sudah mengabu. Pada akhirnya, Dyah Gitarja yang menyandang gelar Tribhuwana Tunggadewi itu menikah dengan Sri Kertawardhana dari Singasari. Dan adiknya, Dyah Wiyat menikah dengan Kuda Amerta dari Wengker.

Namun, setidaknya musnahnya keberadaan Dharmaputra membuat napas Laras dapat terhembus lega. Lagi pula, Laras yakin, jika Jayanegara masih berada di sini, ia akan sangat bangga ketika adik yang selalu dicintainya itu telah duduk di atas takhta.

“Kangmasku sangat tampan, bukan, Yang Mulia?”

Jarinya menjelajahi setiap sisi lukisan Jayanegara yang dirinya buat. Mengusap wajah yang kini hanya sebatas lukisan di atas kanvas lawas, seulas senyum terpatri begitu menarik. Lesung pipit cukup dalam dan sorot mata tajam namun teduh nan sukar ditebak, rahang tegas yang tergores pungkas, dan sebuah senyum dari bibir tipis yang kini selalu membuat hati teriris. Apakah di sana Jayanegara tengah melihat jika Laras benar-benar sangat merindukannya?

“Bisa dibilang, kau adalah gadis yang beruntung,” sahut Gitarja sembari membantu Laras memasukkan lukisan dan tusuk konde cendana-nya ke dalam peti emas itu kembali.

Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara—terukir patut di dalam peti. Bagaimana bisa Jayanegara akan melepaskan gelar keagungannya itu hanya untuk seorang gadis yang tak punya apa-apa. Sungguh pria penuh dama.

“Terima kasih.”

Laras melengak, memandang Gitarja yang tersenyum penuh arti, “Terima kasih untuk apa, Yang Mulia?”

“Terima kasih sudah menjadi rumah bagi Kanda Jayanegara, Laras.”

Mengulas senyum, kepalanya mengangguk. Matanya kemudian memandang pada perut Gitarja yang kian berisi. Samar-samar bayi di dalamnya menendang, membuat Laras melebarkan sunggingan bibir. Bayi itu adalah calon pemimpin yang bersinar, Hayam Wuruk.

“Apakah setelah kita menikah, perutku akan membuncit seperti Ki Gana?”

“Kenapa perut Kangmas harus membuncit?”

“Di istanaku, para pejabat-pejabat pria yang sudah bertahun-tahun menikah, perut mereka menjadi buncit, Adinda. Mereka tidak mungkin sedang mengandung juga, bukan?”

Laras menahan sesaknya gejolak dalam dada ketika satu atau dua skenario rasanya memutari otaknya. Jayanegara terlalu manis.

Terkadang, terpintas bila menjadi wanita karir yang independen seperti para wanita-wanita urban ibu kota adalah hal fantastis—hidup dengan hiruk pikuk modernisasi, pencapaian, dan kursi jabatan. Namun, acap kali dia juga berpikir untuk menjadi sosok ibu muda di usia dua puluh lima—mendidik anak yang pintar dan menjadi seorang ibu rumah tangga secara harfiah.

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now