04 | [೫]

29.4K 4.4K 86
                                    

"Kebetulan, waktu kamu mau pingsan, Mas sama Pak Wisnu nemuin kamu. Tapi serius, Pak Wisnu sekhawatir itu sama kamu, Ras.

"Dia juga lho yang gendong kamu ke mobilnya. Langsung dibawa ke Rumah Sakit, sampai dianter pulang pakai supir ... kalian berdua pernah kenal apa enggak, toh?

"Terus tadi Pak Wisnu terakhir bilang terima kasih sama Mas soal apa, ya? Ngomongnya pelan buanget. Mau tanya lagi, Mas sungkan."


Sebuah paper bag besar berisi sekotak donat, dan seporsi rawon hangat itu membuat dada Laras menjadi cukup berdebar. Dengan banyak keraguan, Laras akan memberikan makanan hasil jerih payahnya ini sebagai tanda balas budi untuk Wisnu—dengan rela menguras uang saku untuk membeli daging kualitas terbaik dan rempah-rempah pilihan di mall, padahal sehari-harinya Laras biasa belanja di pasar tradisional. 

Lesmana bilang kalau rawon adalah makanan kesukaan Wisnu. Laras tidak tahu persis bagaimana selera pria itu, tapi yang jelas, biasanya lidah orang Jogja cenderung suka dengan rasa manis. Laras-nya saja yang orang Jogja, tidak tahu dengan Wisnu yang walaupun lahir dan besar di kota pelajar, namun lidah konglomeratnya itu pasti selalu mengecap cita rasa internasional yang bermacam-macam.

Hari ini sangat cerah, terasa sangat mendukung niatnya yang akan bertamu ke rumah sang seniman muda penuh pesona. Seharusnya Lesmana juga akan ikut berkunjung ke rumah pria itu untuk memiliki agenda melukis bersama, sebelum Wisnu akan berangkat ke Birmingham nanti malam. Namun, ada agenda lain yang benar-benar harus Lesmana selesaikan terkait dengan pekerjaanya yang sebagai seorang kurator seni.

Wisnu memang seperti itu, cukup sering keluar masuk luar negeri karena namanya bahkan lebih besar di luar sana. Kurangnya apresiasi seni lukis di Negara sendiri memang membuat banyak sekali orang memiliki pandangan jika kuliah seni rupa tidak memiliki prospek. Padahal, seni itu mahal. Lihat saja Wisnu yang namanya berhasil memiliki kiprah memukau di kancah internasional. 

Ya, walaupun lagi-lagi itu semua bisa diraih dengan sangat cepat karena privilege dan koneksi dari keluarganya. Tapi, eksitensi Wisnu sebagai seniman muda setidaknya sudah mematahkan stigma orang-orang diluaran sana jika seni itu tidak berguna.

"Kemarin bulan Agustus sampai September, Mas Bhuan ikut ekskavasi tahap dua di Kumitir," Lesmana tiba-tiba sudah ada saja di samping Laras dengan memegang secangkir kopi panas.

Bhuan adalah salah satu teman dekat Lesmana, lebih tepatnya seorang mantan kakak tingkat usil yang getol mengajak Lesmana untuk hiking. Seorang arkeolog 2 anak dengan rambut panjang dan kumis tipis. Ia memiliki ciri khas yang membuatnya terlihat sangat mudah untuk dikenali orang lain—badan yang tinggi besar seperti Rahwana dengan bahu selebar cakrawala.

"Lho, Mas Bhuan ekskavasi?" Badan Laras kontak memutar pada pria itu. "Mendadak?" 

"Ngarang. Mana ada kayak begini yang tiba-tiba. Kamunya aja yang nggak pernah liat TV," sahutnya. "Kemarin aja barusan diberitain di TV penemuan situs Kumitir,"

Laras memalingkan mukanya dengan angkuh, "Ya sorry, orang sibuk. Makanya nggak pernah lihat TV."

"Lambemu itu yang sibuk." Lesmana menyebik.

Gadis itu terbahak. Ingin mendaratkan sebuah pukulan, namun spontan ditahannya tangan yang sangat gatal itu untuk tidak bergerak seinchipun. Lesmana adalah pria yang cukup alergi dengan jamahan jahil, apalagi senggolan penuh amuk.

"Tapi kata Mas Bhuan, ya ..." Lesmana menjedanya untuk menyeruput kopi panasnya dengan nikmat. " ... ada beberapa hal janggal,"

Spontan kedua alis Laras meninggi. "Janggal?"

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now