40 | [೫]

20.6K 3.1K 78
                                    

Memandangi sebuah lukisan, Lesmana terdiam. Laras baru saja menyelesaikan karyanya yang tak pernah gadis itu publikasikan. Hanya terpajang di ruangan khusus, sepetak ruangan kecil yang digunakan untuk menyimpan lukisan-lukisan Lesmana dan Laras sebagai koleksi pribadi. Adik perempuannya itu bahkan menggarap selama hampir satu bulan ini, tak ada jeda.

Raja tanpa mahkota itu berpakaian Jawa kuno. Rambut panjangnya yang sedikit bergelombang terurai. Entah. Detail mukanya tak begitu ditampakkan, namun, Lesmana seperti mengenali fitur wajah dari karakter Raja yang duduk bersila di dalam sana. Tak asing. Agaknya ia tahu, alisnya pun saling bertaut dengan dahi berkerut. Namun, lagi-lagi bingkaian muka itu hanya terasa ia ketahui saja, tak dapat mengidentifikasi sebenarnya siapa role Laras dibalik muka yang samar.

Di sebelah-nya seorang gadis, duduk dengan santun, menekuk kakinya ke samping—kedua tangannya bertumpu pada paha kanan sang Raja, dan telapak tangan kokoh pria itu menaungi punggung tangan sang gadis. Sementara tangan kiri Raja menggenggam bokor emas yang berisi reruntuhan bunga-bunga cendana.

Bukan pola yang klise. Biasanya lukisan seorang Raja begitu identik dengan kemegahan dan aura. Namun, pria di dalam lukisan Laras bahkan hanya duduk di sebuah pendopo, tak ada kursi takhta, atau bahkan mahkota tanda kuasa. Gadis di sampingnya pun hanya memakai pakaian sederhana, terlihat timpang dengan sang Raja. Sungguh dibuat bertanya-tanya.


Senja untuk Jayanegara, Laras.


Terhenyak. Jika benar Raja di dalam lukisan itu adalah Jayanegara, lantas siapa gadis yang berada di sebelahnya? Mereka memiliki hubungan? Apakah lukisan Laras menyiratkan satir? Bunga cendana itu jelas memiliki makna. Atau mungkin bokor emas itu menyimpan aksara penuh rahasia. Bagaimana dengan Raja yang tak berada di atas singgasana? Apakah mengandung alur tak terduga?

Laras itu terlalu jenius, ia terlihat seperti Leonardo da Vinci versi share in jar. Otak mampat Lesmana benar-benar tak sampai.

Suara ketukan langkah stiletto membuat Lesmana menoleh. Matanya menangkap adik perempuannya yang mengenakan wrap dress merah maroon dengan rambut yang ditata French twist sangat rapi. Terlihat sangat menawan. Sejenak, Lesmana tertegun. Kagum dengan bagaimana eloknya Laras dalam balutan pesona seorang wanita dewasa. Benar. Adiknya itu sudah dewasa.

Sebuah liontin emas yang tergantung indah pada leher Laras menyita atensi Lesmana sejemang. Bandul bunga cendana itu terlihat cukup rumit, tak mudah untuk mendapatkan model sejenis itu bila bukan seorang Wisnu Prawiranegara yang memesannya. Itu eksklusif. Tersenyum simpul, Lesmana mendekat pada Laras yang menuruni tangga perlahan-lahan.

Rasanya baru kemarin Lesmana melihat seorang gadis kecil berpotongan bob dengan poni aneh di atas alis. Namun, adik perempuannya itu kini sudah benar-benar beranjak besar. Diberkati dengan keindahan paras, segudang prestasi, dan banyak keistimewaan tersendiri. Yang unik, dan yang mandiri. Yang terkadang gila dan yang berani—tak ayal kenapa dia bisa menggetarkan hati pria sekelas Wisnu Prawiranegara.

“Ihir. Nyonya Prawiranegara, weh. Tak tung tung tak tung ... tak tung tung tak tung ...”

“Apa sih Mas.”

Lesmana terbahak-bahak, menyikapi ekspresi tak nyaman Laras dengan suara tawa menggelegar yang khas. Berjalan kian mendekat, ia menepuk pelan pundak kepala Laras dengan bangga. “Adiknya Mas Lesmana udah besar, ya.”

“Ya masa kecil terus.”

Ada jeda untuk Lesmana berhenti tertawa dan tersenyum simpul. “Mas bangga punya adik kayak kamu, Ras.”

Mengangkat kedua sudut bibirnya. Laras tersipu. Namun, dia terdiam sejenak memandangi pria itu. Bibirnya terkatup rapat menyimpan banyak pintaian kalimat tiba-tiba.  Bayang-bayang samar sosok Adityawarman dengan pakaian perangnya, membungkus tubuh Lesmana dalam sekejap. Rambut panjangnya yang berkibar rendah, serta busur dibalik punggung nya kembali nampak. Pria itu tersenyum hangat, kemudian menghilang begitu saja.

JAYANEGARA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang