30 | [೫]

14K 2.4K 42
                                    

Bertahun-tahun berselang, namun, aroma wangi surai Laras seperti masih tertinggal di dalam ruangannya. Tangannya meraih peti emas; membukanya perlahan hingga menampakkan sebuah lukisan dirinya dan tusuk konde milik gadisnya. Menyimpannya rapat-rapat, menjadi sebuah asrar yang tak terjamah. Jika ia sedang lelah, atau suasana hatinya memburuk, maka ia akan membawa tusuk konde bungan cendana itu sebagai teman tidur.

Rindu tak dapat terbendung. Senyuman hangat dari wajah ayu gadis itu membuat darah Jayanegara kian berdesir tak karuan. Jarinya mengusap lukisan karya Laras, dan membayangkan ketika jemari lentik-nya mengayunkan kuas seharmoni dengan embusan angin. Laras adalah satu-satunya pendengar setia ketika Jayanegara jemu dengan pekerjaannya, atau begundal ulung karena sering mengajak Jayanegara untuk diam-diam memanjat ke luar dari istana. Namun, gadis itu kini tengah melanglang buana. Dan Jayanegara kembali terdiam dalam sunyi—sampai gadis itu kembali pulang.

Ia spontan menutup mulutnya; terbatuk. Jayanegara tak mengerti kenapa akhir-akhir ini tenggorokannya serasa tercekik. Batuknya bahkan benar-benar menjadi salah satu gangguan ketika tidur. Padahal, pola hidupnya sebagai seorang bangsawan selalu teratur. Ah, hanya sakit biasa.

Decitan pintu menggaung secara lancang. Jayanegara kontak berbalik setelah menyembunyikan tusuk konde cendana itu di balik selendangnya. Wanita dengan kemben merah bata yang sengaja mengurai rambut, membawa secangkir teh hangat beserta sebuah selendang baru. Kedua alisnya spontan menukik ketika cahaya obor lamat-lamat menerangi roman wanita yang baru saja masuk. Tersadar bila dia bukanlah kepala dayang yang biasanya mengantar minum, Jayanegara kembali dibuat bertanya-tanya.

"Kenapa kau yang berada di sini?"

Jayanegara bertanya pada Ariswati setelah wanita itu meletakkan teh di atas meja miliknya. "Hamba menjahit ini dengan tangan hamba sendiri untuk Anda, Gusti Prabu."

"Perbuatan apa yang sudah kulakukan hingga kau menghabiskan waktumu untuk menjahit selendang ini untukku?"

Ariswati terkekeh kecil, geli dengan tingkah lugu sang Prabu. "Anda masih sama seperti dulu. Yang Mulia, ini bukan sebagai balas budi ..." ada jeda untuknya menegakkan kepala pada Jayanegara. "... Melainkan sebagai tanda bukti perasaan hamba yang dalam."

Jayanegara berbalik, memunggungi Ariswati begitu saja dan bepura-pura menyentuh kertas perkamen. "Aku tidak ada waktu untuk berbicara lebih saat ini, aku sedang ada urusan,"

"Urusan apa yang mengharuskan Anda terjaga selarut ini?"

Tak berbalik, Jayanegara tak ingin menoleh sedikitpun pada wanita itu. "Apapun urusan itu, kau tak berhak untuk tahu. Sudah cukup untuk memberikan selendang itu, bukan? Kau boleh kembali."

Wanita itu tak segera pergi. Dia hanya diam mematung menunggu Jayanegara bisa menghadapnya dan menatap pada kedua matanya yang jernih. Masih tak percaya jika Ariswati masih menyimpan perasaan pada Jayanegara sebegitu lamanya, bahkan meski wanita itu sudah bersuami. Bantahan sekali tak membuatnya menjauh. 

Dahulu, Jayanegara bahkan sudah menolak perasaan Ariswati sebelum pada akhirnya wanita itu menikah dengan Ra Tanca. Bukan karena dia adalah anak dari salah satu pejabat yang menentang takhta Jayanegara, namun, karena Ariswati adalah wanita yang arogan dan semena-mena. Keelokan wanita itu tak akan mempan untuk bisa menggelapkan mata Jayanegara.

"Sudah sejak dulu hamba begitu mengagumi Anda. Tidak bisakah Anda melihat hamba sekali saja sebagai seorang wanita?"

Jayanegara menatap pada perkamen kosong di hadapannya dengan datar. "Tidak bisa."

Wanita itu mengayunkan kakinya lebih dekat. "Hamba adalah teman kecil Anda, satu-satunya wanita yang bisa mengerti Anda," akunya. "Hamba tak pernah sedikitpun mencintai Kangmas Tanca, yang hamba selalu pikirkan adalah Anda, Yang Mulia."

JAYANEGARA ✓Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ