11 | [೫]

19.2K 3.5K 32
                                    

Laras terduduk di tepi dipan, memandangi lukisan bunga teratai yang belum disempurnakan di atas sebuah meja kayu usang. Dia menghembuskan napas jemu kesekian kalinya sebelum kakinya mulai melangkah ke belakang untuk menutup jendela. Hantaran tipis udara malam kembali mencari-cari celah untuk bisa masuk dan menusuk kulit Laras.

Dia tak ingin mengulur waktu lebih lagi. Seharusnya semua ini selesai secepatnya. Maksudnya, sepenting itukah ingatan masa lalu Laras hingga dirinya di masa depan harus kembali ambil bagian? Apakah ingatan ini menentukkan hidup dan matinya, hingga terlihat seperti hal yang wajib untuk dilakukan? Laras benar-benar tak paham.

Tangannya beringsut meraih grendel jendela yang sudah ringkih. Suara deritannya membuat telinga Laras gatal karena nyaris terdengar seperti efek musik di film-film horor. Namun, sosok Garbapati tiba-tiba saja kembali terbesit. Masih mencoba membingkai muka tidak asing itu hingga sebuah kernyitan dahi kembali muncul.

Di mana sebenarnya pria itu tinggal? Setelah mengantar Laras saja, ia berjalan kembali ke arah curug seorang diri tanpa sebuah penerangan. Jika ia memang warga asli Bedander, tentu Laras akan melihat wajahnya setiap hari. Baru dia sadari, muka Garbapati bahkan tak pernah terlihat sebelum mereka bertemu di curug karena sebuah insiden kecil. Hanya ada tujuh kepala keluarga saja di desa ini, jadi tentu orang-orang di dalamnya akan sangat mencolok dan mudah untuk dikenali.

Apalagi, biasanya para pria akan mengadakan ronda saat tengah malam untuk memastikan keamanan warga Bedander kendati desa ini tak pernah memiliki sejarah disambangi penjarah. Namun, Laras sebagai seorang mahasiswi yang terbiasa tidur dini hari pun tak pernah menemukan Garbapati ikut bagian. Dirinya menggeram frustrasi. Bagaimana bisa Laras lupa menanyakan di mana rumah Garbapati!?

"Selendang." Laras tersadar jika selendang-selendangnya itu masih terjemur di luar. Dasar ceroboh.

Dengan cepat, Laras menutup jendela; berderap ke luar dan berlari jauh ke belakang untuk mengambil salah satu selendang yang sialnya tersangkut. Cahaya rembulan yang menerobos di antara pepohonan membantu penerangan meski hanya sepekat. Tidak masalah bagi Laras, asal tak ada lagi geraman hewan berloreng gila yang kelaparan.

"Tolong jang—akh!"

Teriakan samar yang masih bisa tertangkap oleh telinga Laras membuatnya terkesiap. Derap langkah banyak orang yang terburu menciptakan sebuah kuda-kuda tak sempurna pada kakinya sembari berkilat was-was. Berjalan masuk ke dalam hutan, Laras mencoba melihat apa yang terjadi dengan sisa keberaniannya. Matanya mengintip dari balik semak-semak seraya menahan hembusan napasnya yang tersengal.

"Tidak ada ampunan untuk pengkhianat, Singa Parapen. Kau tidak akan pernah kembali ke Trowulan dan memberikan apa yang kau dapat itu pada tuanmu Ra Kuti." 

Pria yang tangannya tertancap anak panah itu menarik tubuhnya sendiri ke belakang, "Kau dan Jayanegara akan mati. Tuanku Kuti akan menemukan kalian semua di sini!" 

Laras membulatkan matanya. Dia menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan. Pria yang mengeratkan jari-jarinya pada sebilah tombak tajam itu adalah Gajah Mada? 

"Mengkhayalkan hal yang terlalu tinggi bukan hanya akan membuatmu sakit saat terjatuh. Karena rasa malu adalah hal yang paling tragis melebihi rasa sakit." 

Mada mengarahkan ujung tombak yang berkilat-kilat itu pada Parapen yang sekarat. "Kau tidak ingin mengumpatku untuk terakhir kali sebelum aku mengirimu ke neraka?" Pria itu menjedanya agar Parapen kembali membuka mulut. Namun, yang didapatinya hanyalah sebuah tatapan bengis dan penuh dendam. 

"Kalau begitu, baiklah. Selamat tinggal." 

Mada menancapkan tombaknya itu pada dada Singa Parapen, menghunusnya, lalu menikamnya kembali dengan kuat. Cairan merah pekat mencuat, menghujani sebagian selendang yang menutupi dada Mada.  Tak ada ekspresi jijik sekalipun ketika darah yang berbau amis itu bahkan mengotori lengannya seolah ia sudah sangat terbiasa dengan itu. Laras mundur beberapa langkah ke belakang sembari kembali menutup mulutnya erat-erat—perutnya mual.

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now