23 | [೫]

15.5K 2.9K 141
                                    

"Sudah berapa lama kau mengenal Kanda Jayanegara?"

Ini kali pertamanya Laras menginjakkan kakinya pada lantai agung keraton setelah dia benar-benar mengambil keputusan yang beresiko dengan sadar. Entah untuk menebus kesalahannya atau bagaimana, Adityawarman mengadakan sedikit penjelajahan pada beberapa bagian istana—kediaman Raja adalah objek terakhir sebagai puncak klimaks. Sisanya, terserah pada Laras karena gadis itu tengah menggenggam gulungan denah istana, jadi dia tak akan tersesesat.

"Mungkin, lumayan lama," jawab Laras seraya mengangkat bahunya sekejap.

Mata Adityawarman menyipit penuh perhitungan. "Kanda tidak menceritakan apapun tentangku, 'kan?"

"Tidak, Yang Mulia. Gusti Prabu hanya—" Laras menghentikkan ucapannya sejemang untuk berbalik ke arah Adityawarman dan menatap pria itu nyalang. "Maaf, Yang Mulia. Seharusnya hamba yang memberikan pertanyaan itu kepada Anda, karena selama ini justru Anda lah yang banyak menceritakan hal yang tidak-tidak tentang hamba pada Gusti Prabu. Dan apa itu? Ayam hutan? Sungguh!?"

Aditywarman tak bisa menahan gelak tawanya, perutnya seperti digelitik oleh ekspresi masam Laras yang kentara. Rasanya pun, gadis itu ingin sekali menyumpal mulut Adityawarman dengan apa saja yang ada di hadapannya. Tawa mengejek nan menggelegar seperti raksasa lapar itu meruntuhkan suasana hati Laras pagi ini. Tak ada yang lebih menjengkelkan dari bagaimana jari telunjuk Adityawarman yang mengarah pada muka merengut Laras.

"Tak ada yang bisa aku ceritakan lagi pada Kanda, Laras. Masalah kerajaan membuat kami muak. Jadi, menceritakanmu akan menjadi lebih baik karena tingkahmu itu selalu menghibur. Lagi pula, Kanda Jayanegara bahkan suka ketika aku mulai bercerita tentangmu, meski aku tak pernah sama sekali menyebutkan namamu secara gamblang. Nyatanya, kalian berdua kini bertemu secara tidak sengaja, bukan? Berarti aku adalah takdir kalian." Adityawarman tertawa kembali setelahnya.

"Tapi ..." Adityawarman perlahan menghentikkan tawanya, berganti dengan sebuah senyuman tipis penuh arti. "... Kurasa pertemuan kalian memang bukan kebetulan, tapi takdir."

Laras mengerutkan keningnya tak mengerti. "Kenapa Yang Mulia menyebut jika pertemuan hamba dengan Gusti Prabu adalah takdir?"

Adityawarman menaikkan kedua alisnya. "Mau aku ceritakan sesuatu?"



❀⊱┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄⊰❀

Laras terdiam di sebuah lorong setelah Adityawarman meninggalkannya, menunggu sampai prajurit di ujung sana mengumumkan kedatangan Jayanegara. Menatap ke dasar lantai dengan otak yang terbelit, mendengungkan ucapan Adityawarman yang kembali berputar di dalam liang pendengaran. Cerita Adityawarman membuat kepala Laras kembali mengatur alur.

Dyah Rangganata, kau bisa menyebutnya Ki Gana—salah seorang seniman kerajaan sekaligus guru seni Jayanegara—pernah bercerita jika Ra Kuti tengah menginginkan seorang selir sebelum pria itu berniat melakukan pemberontakan. Gadis berkasta waisya yang tak disebutkan namanya seperti memiliki sebuah daya tarik. 

Hal yang tak disukai Ki Gana adalah ketika obsesi Ra Kuti sudah menggelapkan logika. Memasang perangkap untuk membuat gadis itu terpikat, atau mengancam pria-pria yang mendekati-nya untuk segera pergi atau mati.

Mendengar laporan Ki Gana secara rahasia, Jayanegara khawatir meski hal tersebut adalah konflik pribadi Ra Kuti. Bukan ranahnya untuk bisa ikut campur. Namun, gadis waisya yang diceritakan itu terlalu tak berdaya untuk melawan otoriter Ra Kuti. Jayanegara meminta Ki Gana untuk berkonsultasi pada orang tua gadis waisya itu agar melarikannya sementara ke Bedander sampai Ra Kuti mendapatkan seorang permaisuri.

Benar. Alasan Laras bisa dengan mudahnya bersembunyi ke Bedander untuk menghindari obsesi gila Ra Kuti adalah karena Jayanegara. Ah, tak ayal kenapa panglima perang sekelas Adityawarman sendiri yang mengantar Laras dan Ra Kuti benar-benar tak bisa menemukan gadis itu sama sekali—jika di dunia modern, ibaratnya, Laras memegang kartu akses pintu rahasia milik Presiden.

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now