36 | [೫]

18.2K 3K 108
                                    

Tak banyak waktu, untung saja ada agenda yang dirubah sejak awal. Jika tidak, maka Lesmana akan semakin menggila karena Laras demam tinggi. Janji temu dengan Kanjeng Gusti di Mangkunegaran tak akan pernah dibatalkan hingga kapanpun, sama saja merusak citra Wisnu sebagai bagian keluarga Prawiranegara bila secara impulsif Lesmana berkata ia mengundurkan diri dari proyek yang tengah direncanakan karena mengurus adik perempuannya. Gila saja.

Sudah sejak satu jam yang lalu pria itu terus mengomel hingga membuat telinga Laras menguap. Nekat pergi ke bandara adalah sebuah insiden tak terduga yang sama sekali tidak pernah terpikir dalam otak Lesmana. Hidung dan pipi Laras yang kini memerah benar-benar membuat ia ketar-ketir. Pun, sepeda hybrid yang ia beli dengan uang tabungan semasa SMA itu malah ditinggalkannya begitu saja di warung orang. Konyol.

"Sebentar ya, Pak. Nanti kita berangkat jam sembilan. Saya ambil sepeda saya dulu di bandara."

Berlalu begitu saja dengan terburu, Lesmana ngacir ke luar untuk menginjak pedal gas pada mobilnya segera. Bukan masalah uangnya, hanya saja, sepeda itu adalah salah satu benda mati yang masuk ke dalam daftar barang kesayangan Lesmana. Tak terlalu jauh, jarak antara bandara dan rumah Wisnu kurang lebih 15 menit-jangan meragukan kemampuan Lesmana ketika memacu mobil.

Tidak masalah. Setidaknya, dengan kepergian Lesmana yang sementara, bisa menyelamatkan Wisnu dari sebuah pertanyaan, "Sejak kapan Pak Wisnu deket sama adik saya?"

Karena tidak mungkin bila Wisnu akan menjawab, "Sejak beratus-ratus tahun yang lalu."

"Biar saya, Bu."

Wanita paruh baya itu mengangguk; memberikan nampan berisi segelas teh hangat, susu dan dua buah croissant dalam piring kecil-kata Lesmana, Laras sangat suka dengan menu sarapan susu coklat dan sepotong croissant. Meminta supir untuk membeli jenis pastry tersebut di kedai roti terdekat nyatanya masih menyisakan cukup banyak waktu sampai Laras sudah terbangun dari tidurnya.

Suara nampan yang bergesekan dengan permukaan nakas di samping ranjang membuat kepala Laras menoleh. Gadis itu sempat dibuat gugup, dia bahkan menggeser tubuhnya sekian inci ketika Wisnu datang mendekat. Tak mengindahkan, pria itu hanya duduk di tepian sebelum menyentuhkan punggung tangannya pada pipi dan kening Laras. Masih demam, namun sudah lebih baik.

"Sarapan dulu, ya."

Hanya menganggukkan kepala lemah tanpa mengedarkan pandangan, Wisnu dibuat menghela napas. Kepala gadis itu kembali tertunduk, tak sanggup membalas pandangan Wisnu. Ia meletakkan teh hangat itu kembali ke atas nampan, kemudian dengan mudahnya, Wisnu mengangkat tubuh mungil Laras dan mendudukkan gadis itu di atas pangkuan.

"Kalau nangis terus, nanti cantiknya hilang."

Cukup dibuat gelagapan dan tak bisa berekspresi sebagaimana baiknya, Laras mengerjapkan matanya kikuk. Tubuhnya berhasil ada di dalam kendali Wisnu begitu saja dalam hitungan detik. Tangan Wisnu yang membenarkan anak rambutnya itu membuat dia mengulum bibir canggung. Sentuhan pria itu kembali memunculkan desiran darah yang cepat.

Wisnu mengangkat dagu Laras perlahan, "Mas suapin?"

Mengusap bulir air mata yang nyaris jatuh dengan cepat, Laras terlihat hanya diam menengadah pada Wisnu. "Kenapa Laras nggak ketemu Mas Wisnu dari dulu?" Pada akhirnya dia bersuara.

Pria itu mengusap pipi hangat Laras dengan jemarinya, "Ingatan itu kamu dapat umur berapa? Akhir-akhir ini, 'kan?"

Matanya mengerling sebelum menerawang. "I-iya ... barusan ini, habis Laras ulang tahun kemarin,"

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now