28 | [೫]

13.8K 2.6K 67
                                    

Selendang-selendang yang terlipat rapi tertumpuk di dalam bandela yang masih setengah tertutup. Kanvas-kanvas hampa baru saja dia susun dalam peti kemas kayu selebar tiga telapak kakinya. Melakukan semuanya sendiri, tak seburuk itu untuk Laras kerjakan dengan kedua tangannya karena dia sudah sangat terbiasa melakukan segala sesuatu secara multi tasking di masa depan.

Bokor emas berisi perhiasan itu sudah terlihat kosong, hanya tersisa setitik kilapan pantulan matahari yang merebah. Derap kaki beberapa orang sudra bergelung rapi dengan warna kemben senada datang ke dalam, membawa sebuah selendang untuk dipakaikan pada tubuh Laras sebelum gadis itu hanya menurut ketika tangan-tangan mereka mendandani wajahnya.

Masih tak percaya dengan hal mustahil yang terjadi. Matanya hanya memandang pada pantulan dirinya sendiri dengan pikiran mengawang. Dia sendiri masih tak percaya jika kehidupan sebelumnya memang benar adanya. Mengarungi ingatannya sendiri, entah sejak kapan hal tersebut akan terlalu konyol untuk dicerna logika dan akal sehat manusia.

Selesai. Laras diantar dua orang dayang untuk pergi ke Pendopo Agung. Ibu Tribhuaneswari mengadakan perayaan kecil bagi para pejabat keraton malam ini, sekaligus, pesta pemberangkatan para seniman yang tergabung dalam ekspedisi. Pertunjukkan wayang dan tari beksan tak dapat Laras lewatkan, itulah sebabnya dia datang lebih awal.

"Kau Laras, seniman kebanggaan Prabu Jayanegara, bukan?"

Gadis itu terkesiap, dia spontan memutar badannya dan menemukan Ra Tanca dengan istrinya berjalan bersisian. Kepalanya menunduk sekali. Mau bagaimanapun, jabatan Ra Tanca dan kasta yang pria itu miliki lebih tinggi dari Laras. "Hamba, Yang Mulia."

"Kau jauh lebih muda dari yang aku kira."

Ariswati, istri Ra Tanca itu menyahut. Jayanegara pernah bercerita pada Laras jika wanita itu adalah teman belajar-nya sebelum memasuki usia legal. Garis mukanya tak setua itu hingga bisa dikatakan sepantaran dengan Ra Tanca, namun, terlihat lebih dewasa untuk bisa dikatakan seumuran dengan Jayanegara bahkan meski mereka berdua memang menginjak usia yang sama.

Hidup berlatar belakang sebagai seorang bangsawan memang membuatnya memiliki sebuah pembawaan yang anggun dan santun. Kedua bibirnya yang tertarik ke atas bahkan seolah memiliki pakem tersendiri.

Berbincang dengan salah satu tabib ahli keraton, rasanya tak menjelaskan jika pria di hadapannya ini adalah seorang pembunuh berhati kelam. Sapaan hangat dan tutur yang sopan membuat Laras meragukan otak kerdilnya sendiri. Senyuman lebar yang membungkus wajah ramah itu tetap saja tak boleh membuat Laras menjadi lengah.

Sibuk mengobrol hingga ayunan langkah yang saling bersahut membuat ketiganya menolehkan kepala pada parade pasukan yang melintasi lorong untuk menuju selasar. Ketiganya kontak mundur ketika menyadari keberadaan Jayanegara yang tengah berbincang dengan Adityawarman berada di belakang parade itu sebelum kemudian disusul oleh barisan prajurit lagi.

Menundukkan kepala hormat—tak ketinggalan Ra Tanca beserta sang istri juga seluruh pejabat yang masih mogok di selasar. Mata Laras hanya melihat ke bawah lantai, pada kaki-kaki yang berlalu bergantian. Seperti tak ada habisnya telapak tak beralas itu berjalan seakan Jayanegara sedang dijaga oleh seantero Majapahit.

Namun, Laras dikejutkan ketika jari telunjuk pria itu menyentuh punggung tangannya diam-diam sembari lewat. Matanya kontak saja membulat seperti ingin lepas dari kelopak. Sedikit menegakkan kepalanya, melihat Jayanegara yang hanya menoleh sedikit dan memberikan setengah senyumnya pada Laras sekejap, kemudian meluruskan pandangan kembali untuk berbincang dengan Adityawarman. Dasar jahil.

Setelah barisan prajurit habis, Ra Tanca langsung berpamitan untuk mengikuti Jayanegara dengan segera bersama para Menteri yang lain. Ariswati mengajak Laras berjalan perlahan saja untuk menysul; kembali mengangkat topik agar setidaknya wanita itu bisa cukup dekat dengan pendatang baru.

JAYANEGARA ✓जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें