09 | [೫]

21.4K 3.5K 32
                                    

Sebelum pergi, Wira tersenyum lebar dengan penuh binar harap. "Aku akan menjadi seperti Yang Mulia Adityawarman, Yu. Setiap hari aku selalu berdoa pada Sang Hyang Karsa untuk itu,"

"Berjanji padaku jika kau akan selalu pulang, Wira. Bagaimanapun keadaannya." sahut Laras sembari mengelus puncak kepala adik lelakinya. Tak terbayang jika Wira benar-benar akan tumbuh secepat ini. Laras tentu tak bisa menutupi senyum bangganya karena pada akhirnya Wira berhasil meraih mimpinya—menjadi salah satu bagian dari pasukan Bhayangkara.

"Aku berjanji akan selalu pulang," ia menjawab dengan kesungguhan hati. "Ah! Aku juga berjanji akan membawakan Yu Laras jepit rambut bunga cendana. Yu Laras suka bunga cendana, 'kan? Bagaimana dengan tusuk konde bunga cendana juga untuk ulang tahun Yu Laras besok?"

Terlampau aneh. Laras benar-benar tak bisa mengingat wajah orang-orang yang dia temui di masa depan untuk setidaknya mengenali muka familiar Adityawarman. Rasanya dia pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya, namun sel-sel otaknya mungkin hanya sedang mengalami perbaikan. 

Yang terus berputar dalam kepalanya hanyalah Wira dan bayang-bayangnya, seakan Laras memang benar-benar harus membuat skenario adik lelakinya itu untuk tak terus menghantui pikirannya. Satu-satunya orang yang memang bertanggung jawab atas semua ini hanyalah Ra Kuti. Bukan bertanggung jawab pada kekacauan Majapahit saja, namun juga keutuhan keluarga Laras di masa lalu.

Menghela napas. Ayam baru saja berkokok, menandakan matahari akan bangun dari peraduan sebentar lagi. Embusan angin yang tembus di celah-celah dinding bambu membuat Laras kian mengeratkan selendang pemberian Adityawarman semalam. Dia kemudian beranjak setelah mengusap perutnya yang keroncongan. 

Di dalam dapur yang luasnya hanya sepetak, tak ada banyak hal menarik yang bisa dia temukan selain umbi-umbian dalam bakul dan beberapa bahan masakan yang sangat asing. Tak menemukan sebilah kayu pun di pojok ruangan kembali membuat Laras menghembuskan napasnya frustrasi. Laras harus pergi ke hutan jika begitu?

"Hell, what? Minum harus cari juga?" Matanya terbelalak ketika tak ada setetespun air di dalam kendi yang tadinya tertutup balok kayu tipis. Hidup sebagai primitif memang merepotkan.

Sambil membawa gerabah kosong, Laras ke luar dari rumahnya. Entah berapa kali dia harus pulang pergi hanya untuk sekadar mengisi air di dalam kendi, karena membawa kendi air yang berukuran besar itu sekaligus seharusnya membutuhkan tenaga seorang pria dewasa. Matanya mendapati beberapa orang yang mulai bergegas untuk memulai pekerjaan mereka setelah tangannya membuka pintu kayu rapuh yang bahkan sudah cukup sulit untuk digerakkan.

Laras masih bisa melihat pria baya di ujung sana yang tengah merapikan umbi-umbian di dalam keranjang meski rumah penduduk Bedander memiliki cukup banyak jarak. Dua wanita yang bercengkrama itu berjalan sambil membawa keranjang rotan berisi baju kotor. Seorang pemuda terlihat sibuk menata kayu-kayu kering untuk dinaikkan ke atas pedati.

Pohon sonokeling yang berjejer terdengar seakan merengek ketika angin bertiup ke arah mereka. Suluh-suluh pada bahu jalan sudah mulai dimatikan, berkehendak membangunkan si bagaskara yang belum juga memberi setitik cahaya pada awan-awan tipis dan cakrawala yang menggantung. Bunyi gesekan sapu ijuk terdengar sepersekon setelah Laras melangkahkan kaki ke luar dari pekarangan rumah. Wanita tua bungkuk baru saja menegakkan kepalanya sebelum menghampiri Laras dengan langkahnya yang pelan.

"Mau ke mana, Nduk?"

Laras berhenti, dan memutar badannya pada wanita itu. "Mengambil air, Nyai."

"Kau bangun pagi sekali. Bukannya perjalananmu ke Trowulan sangatlah melelahkan?"

Dia hanya tersenyum kecut. Jarak Bedander dengan ibu kota sangatlah jauh, Laras merasakan persis lamanya waktu perjalanan meski dia bahkan menunggangi kuda. Jarak itu pula yang membuat seluruh penduduk desa terpencil ini menjadi buta dan tuli akan kondisi Trowulan. Ra Kuti saja bahkan tak tahu jika desa ini benar-benar ada, letaknya seolah disembunyikan oleh benteng pepohonan tua berkaki bumi yang terlindung oleh gada milik baureksa.

JAYANEGARA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang