35 | [೫]

17.7K 3.2K 117
                                    

Mata terbuka. Dadanya seakan kembali menerima pasokan udara dari empat sisi ufuk yang mengantarkan embusan udara semu. Rinai hujan menggelitik pendengaran mematahkan pikiran yang masih ada di batas angan. Tirai yang seakan menggelegak tertiup angin mengembalikan kesadaran. Bibir pucat yang tergigit pelan baru saja bergerak, tubuh tepekur dengan aroma lavender yang menyeruak.

Rasanya dia seperti telah mengarungi delusi itu begitu lama, bertahun-tahun hingga seolah zaman telah memakan usianya. Bergeming. Berusaha merapatkan emosionalnya yang akan tercerai berai, rahangnya mengeras penuh penekanan. Ingatan-ingatan di masa lalu dan masa depannya menjadi berbenturan, memintai acak benang-benang kusut, nyaris seperti tape recorder jadul yang sebentar lagi akan rusak.


“Cah ayu, sudah berapa lama kau meninggalkan anakku?”


Melompat dari kasur, menyibak selimutnya begitu saja. Laras menyalakan lampu kamarnya dan mencari ponselnya dengan frustrasi. Menyerakkan barang ke mana saja hingga sebuah benda elektronik itu akhirnya dia temukan. Notifikasi pop up pada layar menyala adalah hal yang Laras lihat pertama kali. Tak mengindahkan, ibu jarinya hanya menggeser bar pesan dan membuka matanya lebar-lebar melihat tampilan jam.


💬Mas Nana
| Itu Mas kirim 1 juta barusan buat 2 hari, ya. Jangan boros.
03.58 AM 

💬 Mas Nana
| Ras, Mas mampir ke rumah eyang sekalian. Mau oleh-oleh apa?
04.15 AM



Laras menyematkan anak rambutnya ke belakang telinga setelah menghela gusar karena notifikasi Lesmana malah kian membuatnya terganggu. Matanya masih terlihat cukup sayu untuk memfokuskan pupilnya pada jam pada layar ponsel yang baru saja berganti.

04.22 AM.



Besok pagi-pagi Mas jemput Pak Wisnu ...”

“... Dijadwalnya jam setengah lima pagi ... ”

“... Ke Mangkunegaran, ada perlu sama Kanjeng Gusti. Mungkin ada dua harian di sana ...”


Berderap ke arah lemari, Laras mencari jas hujannya dengan kilat. Dia mengikat asal rambutnya yang belum tersisir, kemudian membungkus tubuhnya yang berbalut piyama itu dengan mantel hujan. Kakinya berayun cepat meraih ruang tamu, gerakannya yang terburu membuat dia jatuh dan meringis tatkala sikunya tergores tepian pot porselen.

Setelah membuka pintu, Laras mengeluarkan sepeda hybrid 90-an milik Lesmana. Tanpa berpikir panjang, dia mengayuh cepat sepedanya ke luar dari pekarangan rumah. Air hujan yang terasa menghujam kepalanya membuatnya mengernyit. Ini benar-benar untuk kali pertamanya Laras pergi ke bandara dengan hanya menaiki sepeda. Tak lagi terpintas pada pikirannya bila air hujan akan meruntuhkan tulang-tulang pada badannya yang ringkih.

Masih terlalu pagi, dan jalanan terasa begitu sunyi. Memilih berbelok pada gang-gang kecil memotong jalanan ringan untuk mencari arah yang pintas. Beberapa kali tudung jas hujan terbang ke belakang terhembus angin kencang, pun berulang kali salah satu tangannya membenahkan satu-satunya pelindung bagi kepalanya, dengan tangannya yang lain berusaha menyeimbangkan laju sepeda.


“Jangan pernah meninggalkanku. Tak akan ada yang pergi ke nirwana terlebih dulu. Kita berdua harus pergi ke sana—bersama.”


Suara rendah pria itu kembali membuat bibir bawah Laras tergigit. Nada yang terpoles begitu halus dan santun membuat dirinya tak bisa lagi menahan sebuah gejolak yang memburu. Laras mendambakan suara itu lagi. Kian mengayuh sepeda, dia menyeka air mata yang bercampur tetesan air hujan dengan berang. Matanya mengerat sekejap dan membukanya kembali agar suara pria itu tak mendengung dalam otaknya.


“Kau adalah gadis paling berani yang aku temui ...”


Kepalanya yang kembali tergeleng membuat sepedanya nyaris terseok, menghantarkan sebuah klakson panjang penuh ancaman dari sebuah mobil SUV yang melaju cukup kencang. Sepedanya kembali melambat karena jari-jarinya sudah gemetaran tertusuk dinginnya udara. Kakinya yang tak bertenaga berusaha kembali mengayuh pedal hingga betisnya seakan nyaris runtuh. Dia memang sudah gila.


“Kau harus tahu jika aku sangat mencintaimu, Laras.”


Laras mengerem sepedanya; menangis. Kepalanya yang tertunduk dalam-dalam menyembunyikan isakan kepedihan, kepalan tangannya berkali-kali memukul dadanya sendiri. Suara-suara pria itu sangat menyayat hati. Jari-jarinya mencengkram erat mantel hujan yang dirinya kenakan. Senyum tulus dari bibir pria itu kembali membuat dadanya terasa sesak.

Tak peduli seberapa tajam air hujan menderu, Laras kembali mengayuh sepedanya secepat yang kakinya bisa. Persetan dengan bibir yang bergetar dan tangan yang sudah membeku, kepala Laras hanya memikirkan bagaimana dia bisa mencapai bandar udara. Waktunya tak banyak.

Bibir mengulum penuh perhitungan, keajaiban bersemai. Laras tidak mati di jalan. Begitu sampai, Laras menitipkan sepedanya pada sebuah warung yang baru saja buka. Meninggalkan mantel hujannya di sana sebelum berlari ke dalam bandara tanpa menebak apakah pria itu benar-benar sudah ada di sana. Hanya intuisinya yang bekerja, akal sehatnya hilang. Tak ada yang lebih tinggi daripada perasaan rindu bercampur pilunya yang tak dapat diterjemahkan. 

Penampilan-nya yang berantakan dengan rambut basah terkena air hujan menarik atensi beberapa orang yang melintas. Tetesan air serta sepasang sandalnya yang kotor menodai lantai mengkilap bandara. Ekspresi bingung dan bodoh-nya membuat petugas porter sudah berjaga-jaga untuk menggiring petugas keamanan.

Tak acuh, Laras hanya terus mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru sudut bandara dan kaca-kaca besar pembatas apron. Matanya menjejal ke dalam kerumunan orang-orang, punggungnya bahkan beberapa kali menabrak manusia-manusia sinis itu secara tak sengaja. Berlari ke sana dan ke mari dengan badan yang menggigil, dirinya hanya bisa kembali menangis begitu frustrasi. Merutuki kakinya lambat.

“Laras!?”

Tubuhnya spontan berbalik. Dua orang pria yang berdiri tak jauh darinya itu membuatnya mematung. Laras meremas ujung piyamanya tatkala matanya bersirobok dengan pria jangkung yang berdiri di samping Lesmana.

Three piece suit hitam begitu formal dengan rambut yang rapi ditarik ke belakang. Tak ada yang berubah meski pria itu kini terbalut tampilan lugasnya seorang eksekutif. Sepasang iris selegam malam yang selalu menyembunyikan sejuta rahasia, rahang indah nan tegas yang menyempurnakan aura, dan bibir tipis yang menawan nan nirmala membuat air mata Laras kembali tak dapat terbendung.

Terkejut. Lesmana membulatkan matanya heboh. Kekhawatiran terberat Lesmana adalah ketika melihat Laras yang basah kuyup. Adik perempuannya itu rentan terhadap air hujan, tubuh ringkihnya tak mampu menahan dinginnya rintik-rintik awan kelam. Kakinya hendak berayun, menghampiri Laras yang kacau.

“Ras! Kamu ini gim—“

Ucapannya terpotong tatkala Lesmana hanya dilewati begitu saja. Matanya beberapa kali berkedip ketika gadis itu berlari ke arah Wisnu dan memeluknya erat. Mulut Lesmana terpanga, ia terlongong ketika kepala Laras terbenam dalam dada pria itu tanpa permisi. Menangis sejadi-jadinya dalam kekalutan.

Isakan yang menyakitkan begitu menggores hati Wisnu. Tersenyum lirih, tangannya membalas pelukan gadis itu dengan merengkuh tubuh mungil-nya yang dingin. Memberi kecupan sekilas pada pundak Laras, menyalurkan rasa rindu yang sudah tak bisa dijelaskan dalam bentuk prosa. Ia mengusap punggung Laras yang basah, dan mengelus rambutnya yang kuyup.

Larasnya sudah kembali.

Mengambil napasnya dalam-dalam, Laras sedikit melepaskan tautannya dari tubuh Wisnu. Bibirnya yang gemetar terbuka, membisikkan sesuatu pada pria itu. “Maafkan aku, Kangmas.”



──Ⲋꫀᥒjᥲ ᥙᥒtᥙk Ꭻᥲᥡᥲᥒꫀgᥲɾᥲ──

JAYANEGARA ✓Место, где живут истории. Откройте их для себя