43 | (ekstra kehidupan)

19.2K 2.9K 89
                                    

"Ayah,"

"Dalem, Dek?"

"Yah, im."

Kedua alis saling bertaut dengan kening yang bekerut. Wisnu memandangi Bumi lewat pantulan kaca mobil yang tengah duduk di baby car seat. Kedua tangan anak itu mendadak berhenti memainkan mobil-mobilan ketika Wisnu berusaha menyahut, seakan mengerti bila ayahnya menanggapi, mulut Bumi terbuka kembali untuk mengatakan frasa sama.

"Im?" Wisnu bergumam, bertanya-tanya.

Tangan kecil Bumi menunjuk-nunjuk udara. "Yah, im, im,"

"Im apa, Dek?"

Jemu, Bumi meninggikan suaranya, "Yah, im ... im, im!"

Terkekeh gemas karena suara kecil Bumi yang menyiratkan kemarahan, Wisnu menutup mulutnya menahan geli. "Im apa, Dek? Ayah nggak ngerti."

"Im itu es krim, Mas. Bumi minta es krim." Laras menyahut di sela-sela kegiatannya yang tengah memilah foto.

Dibuat kembali tertawa, Wisnu menggeleng. Berkomunikasi dengan anak sendiri nyatanya lebih luar biasa sulit ketimbang berpidato secara spontan di gedung DPR. Ia bahkan harus berusaha menggatalkan telinganya mati-matian untuk menyerap kosa kata demi kosa kata yang asing dari mulut Bumi. Merasa payah. Entah bagaimana Laras bisa memahami Bumi secepat itu. Rasanya tak ada yang bisa mengerti bahasa alien Bumi selain sang ibu dan anak itu sendiri.

"Oh, anak Ayah minta es krim," balas Wisnu. "Kemarin bukannya udah beli es krim sama Ibu, ya?"

Kepala Bumi menggeleng cepet. "Yum,"

"Yum?"

"Belum, Mas," Laras lagi-lagi harus menimpali. Profesi barunya sekarang ini adalah menjadi penerjemah Bumi.

"Bumi 'kan uangnya banyak. Kemarin lebaran habis dikasih siapa aja ... Pakde Nana, Pakde Mahija, Om Harsa, Tante Acha ... tuh, banyak. Kok beli es krim masih minta Ayah?"

Saking banyaknya uang lebaran yang diterima Bumi tahun ini, Laras sampai bingung harus menyimpan lembaran-lembaran merah dan biru itu ke mana. Keluarga dan kerabat Wisnu tak mungkin memberi dengan besaran yang sedikit, mustahil. Mereka semua konglomerat. Terlebih, status Bumi yang sebagai anak sulung Wisnu, pasti membuat mereka kian getol menambahkan besaran rupiah pada amplop lebaran. Bumi masih terlalu kecil untuk menerima uang sebanyak itu.

Belum lagi, baru saja Wisnu menghadiahkan sebuah mini Ferrari pada Bumi karena anak itu sangat suka mobil-mobilan. Sebenarnya, tak jauh pula dari Wisnu yang suka mengkoleksi mobil di dalam garasinya. Sama saja. Like father like son. Menambahkan sebuah ruangan baru, khusus sebagai perpustakaan pribadi Bumi, Wisnu menghabiskan sekian puluh juta hanya untuk membuat ruangan itu bisa menyerupai dunia dongeng pada buku-buku cerita milik Bumi. Mini Ferrari plus perpustakaan pribadi──entah berapa ratus juta yang sudah Wisnu gelontorkan. Laras mengelus dada, Wisnu terlampau royal.

Sebagai jawaban, Bumi kembali menggeleng kepala. "Im im!" Hanya itu yang bisa ia katakan. Harap maklum, anak 1 tahun lebih sekian bulan.

"Nanti Ayah beliin. Berapa, sepuluh?"

Matanya melirik pada pantulan kaca lagi, dan kepala Bumi terlihat mengangguk antusias seolah ia tahu berapa banyak besaran 10 itu. Kembali dibuat tergelak, bahkan air mata Wisnu hampir menetes di ujung netra. Ia bahkan seringkali sampai tak bisa menahan gemas karena celotehan acak Bumi yang susah dimengerti, bahasa-bahasa rumitnya itu menggelitik perut. Suara nyaring nan kecil-nya adalah bagian terlucu.

Setelah usai mengunjungi candi Bajang Ratu, seperti janjinya, Wisnu mengajak Laras pergi ke Museum Trowulan. Sudah kesekian kali ini Bumi pergi ke tempat-tempat bersejarah selain Candi Borobudur dan Prambanan.

Menggendong Bumi dengan soft structure carrier karena takut akan sering terjatuh atau melakukan suatu hal konyol, Wisnu meminta bantuan Laras untuk membenahkan. Bumi anak yang cukup aktif. Jika Wisnu meleng sedikit, bukanlah suatu hal yang lucu bila Bumi tahu-tahu sudah nangkring di atas Lingga Yoni. Setelah membenahkan gendongan, Laras merapikan pula surai suaminya yang terhembus angin. Jika orang mengira Laras memiliki satu anak, maka prasangka itu adalah salah. Sebab, sebenarnya ada bayi di dalam rumahnya──Wisnu Prawiranegara dan Adipati Bumi Prawiranegara. Bayi besar dan bayi kecil.

Meninggalkan tempat parkir, mereka masuk ke dalam museum.
Seperti dugaan Wisnu, Bumi selalu mengomentari segala sesuatu yang ia lihat. Mulut kecilnya tak berhenti mengoceh untuk menanyakan banyak hal yang terjejal di dalam otak mungilnya. Wisnu bahkan tak sempat melihat arca Durga, sebab nahasnya ia selalu berjalan ke sana dan kemari untuk menuruti komando Bumi.

"Ayah, tutu aik tata?"

"Ayah, tatana bibi?"

"Ayah, na ... tatana tu bibi!"

Wisnu hanya mengiyakan semua pertanyaan Bumi tanpa mengerti apa yang anak itu bicarakan dengan gamblang. Sesekali, nada bicara Bumi yang naik turun membuatnya mengatupkan bibir penuh kegelian.
Meminta Wisnu meninggalkannya dulu, Laras hanya tengah sibuk menikmati detail ukiran patung Mahakala. Menyetujui, Wisnu akhirnya mengajak Bumi pergi ke selasar untuk melihat beberapa arca lagi. Hingga, kakinya kemudian beranjak menuju ke tempat di mana lukisan Jayanegara diletakkan.

"Dipisah, ya?" Langkah Wisnu terhenti seiringan dengan bibir yang mengulas senyum. Ia bergumam, netranya tak menemukan tusuk konde bunga cendana di dalam etalase kaca.

Terlihat samar dan lawas, rimpuh dan tak layak. Tidak, bagi Wisnu. Karena lukisan itu masih sangat sempurna di matanya. Roman yang tak dikenali, tak membuat Wisnu lupa dengan bagaimana jemari seorang gadis yang dengan indahnya menorehkan warna. Senja kala itu seakan kembali menyapa ketika kedua tombak mata hitam legamnya menatap kian lekat pada kanvas usang yang nyaris runyam. Sungguh, lukisan Jayanegara adalah lukisan terindah yang pernah ia lihat.

Tersadar tak ada lagi suara berisik, Bumi membuat Wisnu melirik. Anak itu memandangi lukisan yang tak dikenalnya dalam diam. Bibir mengatup menyimpan banyak perhitungan. Rasanya aneh, tak biasanya Bumi akan mendadak diam bila tak merasa terancam oleh keberadaan orang menyeramkan. Tak pernah disangka, Bumi akan terhenyak untuk hanya memandangi sebuah lukisan usang yang Wisnu pikir bila Bumi tak akan pernah tertarik untuk meniliknya. Mata kecil-nya yang berkedip membuat Wisnu mengernyit.

Sepersekon, tangan Bumi menunjuk lukisan Jayanegara seiring dengan kepalanya yang berusaha menoleh ke arah Wisnu. "Ayah,"

"Hm?"

"Tutu ... Ayah?"

Bergeming. Wisnu terdiam seribu bahasa. Bagaimana Bumi bisa──?

"Tutu Ayah Nunu?" Bumi berseru sekali lagi.

Mengelus puncak kepala anak itu, Wisnu menurunkan jari telunjuk Bumi yang mengarah pada lukisan. Bibir tipisnya kembali mengulas senyum, sebuah kecupan manis membuat Bumi terkikik kecil. Benar,
takdir memang selalu tak terduga.

Mendekatkan bibirnya pada telinga Bumi, Wisnu berbisik, "Iya. Itu Ayah Wisnu."



──Ⲋꫀᥒjᥲ ᥙᥒtᥙk Ꭻᥲᥡᥲᥒꫀgᥲɾᥲ──

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now