41 | EPILOG

23.7K 2.8K 71
                                    

"Mbak Laras sama Om Wisnu kenalan di mana?"

Wira terlihat sangat ingin tahu. Pikirnya, meski Wisnu memang bukan tipikal pria dingin, keras, atau sekaku tembok beton seperti pria fiksi dalam novel, namun, tetap saja mendekati si bungsu itu bukanlah perkara mudah. Si model papan atas, atau presenter ternama, jangan lagi pramugari maskapai penerbangan nomor satu itu bahkan benar-benar tak bisa menyentuh Wisnu seinchi-pun.

Terinterupsi. Laras menjeda kegiatannya sejenak untuk menolehkan kepalanya sedikit ke belakang pada Wira. Pemuda itu memang agak konyol. Alih-alih berbaur dengan kedua orang tuanya, ia malah lebih memilih duduk di antara Laras dan Wisnu. Melirik Wisnu yang tengah serius menyetir, kilatan mata Laras seakan meminta sebuah pertanggung jawaban.

Dia meminta bantuan si paling pandai bernegosiasi dan public speaking itu untuk menjawab pertanyaan seorang pemuda labil. Namun, bibir tipis Wisnu malah menyeringai seolah mencabar Laras untuk mencoba membuka mulutnya dan menjawab secara gamblang. Mata Laras kontak mendelik. Tak terima.

"Apa sih, Mbak. Kok malah lihat-lihatan. Di mana, Om Wisnu?"

Wisnu terkekeh pelan menanggapi ekspresi Laras. "Satu huruf dua ratus dollar ya, Dek."

Wira berdecak sebal. Tak biasanya Wisnu akan mengulur-ulur seperti ini. "Itu bukan pajak, itu perampokan."

"Kamu nggak mungkin tahu, jadi nggak perlu." Wisnu mengibaskan tangannya anggun ke arah Wira.

Menyebik, Wira sedikit mendekatkan mukanya ke depan, "Nggak mungkin tahu gimana maksudnya ... memangnya Om Wisnu sama Mbak Laras kenalan nya di luar tata surya?"

"Ya sudah, inisial depannya B."

"Bandung."

"Belakangnya R."

"Bogor. Ah, easy."

"Salah."

"Hah?"

"Ada delapan huruf." pungkas Wisnu.

Menggaruk kepala frustrasi, tebakan ini bahkan lebih sulit dari tes tertulis TOEFL. Essay Wira mungkin saja tidak ada apa-apanya. Wilayah Indonesia bagian mana yang mengandung delapan huruf? Jika bukan Bogor lantas apa? Mengais pada laman pencarian cepat nyatanya tak membantu Wira sama sekali. Nihil. Yang ia dapat hanyalah mata yang pedas karena berkali-kali melotot pada layar radiasi yang menyala. Ini jebakan.

Sepertinya Wira yang hanya terlalu payah dalam mengetahui wilayah-wilayah Indonesia. Terlihat pusing sendiri, entah bagaimana Wira bisa begitu berambisi terhadap kisah romansa Wisnu dan Laras.

Sesak terjejal dengan pertanyaan yang berkabut, ia menyerah begitu saja, sudah lelah untuk berpikir dan menerka. Dengan sadar Wira baru saja mengibarkan bendera putih dan tidak mengeluarkan sepeser kurs dollar untuk setidaknya membayar setiap huruf pada Wisnu. Lebih baik mati dengan keingin tahuan daripada terus hidup untuk dibodohi. Bukan, sih, sepertinya memang Wira saja yang bodoh.



❀⊱┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄⊰❀


Lesmana dengan kaos hitam terbalut jaket herrington tebal sudah berdiri tegap di sana. Sepulang dari kantor ia menyempatkan diri untuk setidaknya kembali membuka relasi dengan salah satu anggota keluarga Prawiranegara, lagi. Hitung-hitung, bila suatu saat koneksinya akan meluas. Mungkin saja keberadaannya adalah sebagai tonggak awal berdirinya dinasti Surya. Tentu saja, Lesmana Surya. Tertawa. Sebab keluarga Prawiranegara adalah role.

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now