19 | [೫]

14.8K 2.8K 20
                                    

Mata Laras mengerjap perlahan. Deru angin membawa kabur hingar bingar malam dibalik lampu-lampu temaram. Kesunyian membuatnya meringkuk dibalik selimut dengan pikirannya yang sangat kalut. Helaan napasnya menyembunyikan asrar dan kebimbangan yang bersua, beriringan gemetarnya jemari ringkih atas kejamnya sapuan udara. Tangannya kembali meremas ujung baju, mengetatkan setiap jari-jarinya yang rapuh.

Lesmana bilang, kejadian tadi adalah lamunan paling tidak masuk akal Laras. Gadis itu sudah seperti terkena sleep paralysis dengan mata terbuka. Naik ke candi begitu saja, lalu terdiam sangat lama. Untung saja pihak pengelola tidak meminta ganti rugi atas tindakan Laras yang semena-mena. Terkadang, gadis itu memang merepotkan Lesmana di beberapa hal.

Tangan Laras kembali menyentuh dadanya. Rasa sakit yang menjalari setiap sel bagian tubuhnya itu masih sangat terasa. Keadaan dan pertanyaan-pertanyaan ganjil menjadi begitu berkabut di dalam pikiran Laras, menutupi logika dan akal sehat. Masih ada satu pertanyaan dalam kepalanya yang belum terjawab, dan masih ada pria yang menunggunya pulang dari medan perang.

Jayanegara.

Bibirnya kembali tergigit. Matanya terpejam seiringan dengan kedua alisnya yang bertaut tajam. Bagaimana bingkaian wajah sempurna itu bisa terlupa dalam otak Laras. Dia masih bisa mendengar suaranya yang berat dan lembut, dia bahkan masih bisa merasakan bagaimana pertama kali pria itu menenangkannya untuk menghindari harimau lapar. Namun, dia tidak bisa mengingat bagaimana senyuman hangat pria itu mampu menghias suramnya langit kelam.

Apakah dia dan Jayanegara memang berpisah begitu saja? Atau—tunggu, Ibu Ratu Kidul! Laras harus bertemu dengan Ibu Ratu Kidul!

Laras mengusap air matanya cepat. Dia menyibak selimut dengan sembarang dan berderap untuk keluar. Namun, ketukan pintu dari Lesmana membuatnya memelankan ayunan langkah untuk segera. Perlahan Laras mengumpulkan napasnya kembali, lalu membukakan pintu untuk Lesmana.

"Kamu nangis, Ras?" Sontak saja bertanya setelah Lesmana melihat mata sembab dan hidung Laras yang memerah.

Laras tersenyum getir seraya menggeleng. "Hah, enggak kok. Barusan habis pakai obat tetes mata,"

Lesmana mengerutkan kening, seolah memindai garis muka adik perempuannya. Matanya bergerak turun naik penuh curiga. Ia bahkan sedikit memicing, membuat Laras harus mengedarkan irisnya agar tak bertabrakan dengan pupil mata Lesmana. Namun, Laras tak menyangka jika pria itu hanya akan menganggukkan kepala

"Besok pagi-pagi Mas jemput Pak Wisnu, soalnya kita sekalian bablas ke Solo,"

"Ke Solo?" Kedua alis Laras naik. "Ngapain?"

"Ke Mangkunegaran, ada perlu sama Kanjeng Gusti. Mungkin ada dua harian di sana, jadi kamu ditinggal di sini sendirian. Mas bawa mobil, kalau mau pergi jauh-jauh naik ojol aja lho ya. Kamu kalau naik motor kayak orang mabuk soalnya. Apa mau ikut?"

Laras menggeleng cepat. "Nggak ah." Jawabnya. "Emang Pak Wisnu besok landing jam berapa, Mas?"

"Dijadwalnya jam setengah lima pagi," sahutnya sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana setelah sebuah getaran membuatnya sedikit terkejut. Sebuah garis vertikal kontak muncul di antara kedua alisnya karena suatu hal.

"Halo, Pak Wisnu, gimana? ... Oh, nggak ... Mau mampir—lho, agendanya dirubah? ... Kalau menurut saya sih langsung aja, soalnya belum booking hotel ... Tenane? ... Jam tujuh kali, Pak, sampai. Ada jangka waktu banyak buat beli kemeja batik baru sebelum ke Mangkunegaran hehehehe. Sekalian kali, Pak, healing ... Iya ... Nggak, Laras saya tinggal di rumah ... Oke, oke ... Iya, Pak. Sama-sama."

Lesmana memainkan ponselnya sebentar sebelum kembali menutupnya. "Besok kamu sendirian di rumah, pokoknya kalau malem rumah dikunci sampai bunyi ceklek. Ini lagi di bulan-bulan penghujan lho, Ras. Kalau hujan nggak usah keluar, mau jajan delivery aja. Soalnya Mas nggak ada di rumah kalau kamu panas dingin."

Lesmana tahu jika adiknya itu adalah kaum bar-barian yang merangkap menjadi badut setengah ondel-ondel, atau singa betina yang terkadang menjelma menjadi burung garuda—namun, sekuat apapun gadis 21 tahun itu, hujan tetaplah alasan absolut yang akan membuat tubuh mungilnya itu akan terbalut dalam selimut. Bukan alergi hujan, hanya saja, Laras terlalu ringkih meski tubuhnya hanya tergores setetes air hujan. Ini bukan hiperbola, sejak kecil gadis itu benar-benar mengalaminya.

Laras terkekeh kecil. "Iya-iya," dia sedikit mendorong pintunya kembali, "Ya udah, Mas Nana buruan tidur. Besok 'kan harus bangun pagi-pagi. Mau Laras buatin sarapan dulu?"

"Nggak usah, Mas cari sarapan di luar aja," jawabnya. "Kamu juga tidur sana, jangan ngalong. Tuh udah mulai gerimis tuh. Sleep well."

Laras menutup pintu kamar setelah Lesmana berlalu. Kakinya berayun gontai untuk kembali merebahkan dirinya ke atas tempat tidur. Dia lagi-lagi menghembuskan napasnya dalam-dalam sebelum matanya terpejam. Kembali memendam segala masa lalu yang berkabut bagai delusi, dan meredam ketakutan. Rinai air mulai bergemericik cukup keras. 

Lesmana itu terlalu cerewet bagi ukuran pria 26 tahun—bukan, tolong katakan jika ia hanya sangat menyayangi Laras. Karena nyatanya tetap saja, di luar, ia adalah bongkahan es Antartika yang tak bisa disentuh sembarang wanita. Lagi pula siapa yang akan menerobos hujan, Laras bahkan lebih suka ketika dia hanya bisa sekadar memandanginya.

Namun, aroma obat yang sangat kuat tiba-tiba menyeruak. Alis Laras kontak bertaut dengan dahi mengerut. Perlahan sekujur tubuhnya menjadi sakit, dadanya terasa nyeri, dan punggungnya begitu perih ketika kain-kain baju yang membalut tubuhnya menggesek lapisan luar epidermis kulit. Jantungnya memompa untuk berdetak lebih cepat, seperti menekan relung dada Laras.

Matanya sontak terbuka. Dan seketika, mukanya menjadi tak berwarna. Jendela kaca dengan gorden bunga tulip dan lampu tidur tujuh watt berganti menjadi dinding-dinding bata merah dan beberapa obor di sudut-sudut ruangan. Ventilasi dari kayu dan ranjang tanpa spring bed benar-benar menguapkan kesadaran Laras. Dia bergeming sekejap.

Tangannya yang sedikit terangkat itu menjadi penuh lebam dan luka-luka kecil. Sepersekon, dadanya kembali berdenyut, terasa seperti sebuah hantaman asteroid yang meruntuhkan tulang-tulang ringkihnya. Tangan kirinya beringsut menekan pelan sebelum matanya melihat jika dadanya tengah diperban.

Laras mengerang pelan. Punggungnya terasa kian sakit dari sebelumnya, hingga dia membungkuk dan memohon mati-matian agar denyutan rasa perih itu dapat melemah. Seketika mata Laras mengerjap-ngerjap setelah mengingat suatu hal. Tikaman tombak Ra Kuti dan hantaman anak panah Aditaywarman yang tak disengaja lah yang membuat tubuhnya terasa seperti tercabik-cabik. 

Oh, sial. Jadi, sebenarnya dia masih hidup? Apakah Laras di masa lalu ini adalah jelmaan kucing sembilan nyawa?

Gema langkah tenang membuat Laras menolehkan kepalanya ke ambang pintu. Gadis muda dengan selendang keunguan yang menggelung rapi rambutnya menjadi sedikit terkejut ketika matanya bersibaku dengan netra Laras. Dia bahkan hampir saja menumpahkan cawan berisi air yang tengah dia bawa.

Dia berderap mendekat pada Laras setelah meletakan cawan itu pada meja kayu di sebelah ranjang. Senyumannya langsung merekah melihat mata jernih Laras yang memandangnya dengan penuh kebingungan.

Kepalanya sedikit menengok ke belakang pintu; dia berteriak, "Nyai Sudrati! Dia sudah sadar!" 







──Ⲋꫀᥒjᥲ ᥙᥒtᥙk Ꭻᥲᥡᥲᥒꫀgᥲɾᥲ──

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now