08 | [೫]

24.2K 3.7K 56
                                    

"Tunggu di sini sebentar, aku akan mengambil kudaku."

Laras menghela berang. Pria berlabel Adityawarman itu nyatanya benar-benar meninggalkan Laras sendirian. Tak ada keberadaan arloji tak membuat Laras kehilangan akal untuk menghitung waktu di setiap detiknya sampai pria itu akan muncul kembali. Jika tak salah hitung, Laras sudah berada di sini selama hampir satu jam. Ini sudah keterlaluan.

Bisakah kau bayangkan pria mana yang sampai hati meninggalkan seorang gadis sendirian di tengah hutan gelap tanpa penerangan dan bekal senjata? Apakah pria itu berpikir jika hutan lebat hanyalah sekumpulan pohon-pohon rindang berisi bebatuan dan rerumputan liar? Dia yakin, Adityawarman itu adalah pria yang menolak wanita dalam goals hidupnya. Sungguh kaku dan berhati dingin.

"Yu, ini adalah Yang Mulia Adityawarman, saudara sepupu Gusti Prabu Jayanegara." Setelah kakak perempuannya keluar, Wira tersenyum lebar karena ia bahkan bisa berdiri bersisian dengan sosok panglima perang Majapahit.

Laras mengerjap-ngerjap tak percaya. Apakah yang di hadapannya benar-benar seorang anggota keluarga kerajaan? Bagaimana Wira bahkan bisa berdiri bersebelahan dengan pria itu?

Gadis itu kontak saja menundukkan kepalanya, "Ada keperluan apa Yang Mulia datang ke gubug kami?"

Ia merangkul pundak Wira dan menepuk-nepuknya bangga. "Aku hanya bermain ke rumah sahabatku, sekaligus bertamu di rumah seorang seniman gerabah yang selalu Kanda Jayanegara kagumi."

"Jadi, kau saudara perempuan yang selalu Wira ceritakan. Siapa namamu?"

"Hamba Larasati Induhita Senja, Yang Mulia,"

Adityawarman tersenyum simpul, "Jangan terlalu kaku, adikmu sudah aku anggap sebagai adikku juga. Kau tahu, sebentar lagi adikmu akan bergabung dengan pasukan Bhayangkara."

Laras berkedip beberapa kali, dan memandang Wira tak percaya. Matanya melebar penuh kehebohan. "Pasukan Bhayangkara ... b-benar-benar pasukan Bhayangkara?"

"Kau sedang memikirkan apa?"

Laras pikir tadi dia hanya melamun. Namun, sebuah skenario yang tak pernah dia lihat nyatanya masih berkelebat. Wira? Nama asing itu tak pernah ada dalam mimpinya. Apakah ini ingatannya yang lain? Apakah di masa lalu, Laras sedang memikirkan lelaki bernama Wira itu sembari menunggu Adityawarman?

Pria itu melompat dari atas kudanya, membuat kobaran api pada obor yang dibawanya sedikit meliuk. Dengan selendang yang tak bercorak emas, tanpa perhiasan atau bahkan kelat bahu yang mengikrarkan jika ia adalah seorang panglima perang, Adityawarman menghampiri Laras dengan sebuah selendang yang masih terlipat rapi di genggaman tangannya. "Pakai ini,"

Seperti diberi sebuah komando, Laras meraih selendang itu dan melilitkannya untuk menutupi sepanjang kepala hingga tulang selangka. Setidaknya dia tidak kembali menggigil karena—entah—daerah ini terasa begitu dingin. Apalagi jika angin-angin dengan jahilnya menggoyangkan ranting dan dedaunan lebar yang membuat embusannya menggerayangi lapisan luar epidermis kulit.

"Naik."

"Hah?" Laras berkedip. "Naik?"

Adityawarman kembali frustrasi. "Kau tuli?"

Laras menjedanya untuk menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari kuda lain atau apapun yang bisa dia kendarai sendiri. Namun, yang ditemukannya hanyalah kegelapan malam dan suara sahutan jangkrik. "Mana kudaku?"

"Kudamu? Kau pikir aku akan membawa satu kuda lagi kemari dan membuat prajurit mencurigaiku?"

"Berarti aku tidak menunggangi kudaku sendiri?"

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now