14 | [೫]

17.5K 3.2K 51
                                    

"Kapan kita akan bertemu lagi? Sesekali aku ingin melukis bersama Kangmas juga."

"Entah kapan. Karena aku tidak yakin jika setelah ini aku bisa menemuimu lagi, Laras,"

"Ada apa? Kangmas akan pindah ke desa lain?"

"Lebih dari itu. Kau mungkin tidak akan pernah menemukanku lagi."

"Tidak adil. Setelah semua ini, Kangmas akan meninggalkanku? Padahal satu-satunya teman terbaikku di sini hanyalah Kangmas Garbapati,"

"Benarkah?"

"Aku bersungguh-sungguh. Kita harus bertemu lagi untuk melukis bersama."

"Jika kau meyakini itu, maka semoga akan terjadi. Lagi pula, pertemuan-pertemuan kita sebelumnya bahkan tak memerlukan janji 'kan? Berarti, sejauh apapun kita melangkah, maka takdir akan mempertemukan kita lagi bagaimanapun caranya."



Mada menemui Laras pagi ini sesuai janjinya. Bahkan sebelum ayam berkokok, Mada sudah menunggu Laras di tempat di mana sebelumnya mereka bertemu—tentu saja untuk menghindari atensi khusus warga Bedander. 

Namun, dengan sengit, sedari tadi Laras terus menatap punggung Mada tanpa ampun. Keduanya nyaris seperti minyak dalam genangan air keruh. Sepanjang perjalanan melewati temaramnya hutan menjelang pagi menyingsing, Mada dan Laras terus berseteru. Tak ada dari mereka yang berniat untuk hanya mengiyakan atau mencoba mengakhiri pertentangan. Sudah berlaksa pembicaraan mereka babat dengan panasnya perdebatan.

"Raja Jayanegara saja mempertanyakan kembali keselamatanku saat kau meminta restu-nya, bahkan memintamu untuk menyakinkanku jika yang akan aku lakukan benar-benar berbahaya. Apakah kau juga tak mengkhawatirkanku sedikitpun, Mada?"

Tangannya yang sesekali menyibak dahan-dahan pohon berhenti sejenak, "Memangnya kehilangan nyawa satu gadis waisya akan bisa membuat seluruh Majapahit terguncang?" Ia menoleh ke arah Laras sejurus, kemudian kembali meluruskan pandangannya ke depan. "Lalu kenapa aku harus mengkhawatirkan keselamatanmu."

Laras berdesis. "Pemuda sialan."

Memutar bola mata adalah satu-satunya hal terakhir yang bisa Laras lakukan selain berpikir untuk memukul kepala Mada dengan ranting pohon. Menyumpal mulut pedas pria itu juga bukan pilihan terburuk agar kewarasan Laras tetap terjaga. 

Jika saja Mada terlahir kembali, akan lebih baik ia berprofesi sebagai Politikus yang akan menyasak pejabat-pejabat payah dengan mulut sensasionalnya. Atau seorang Jenderal yang disegani karena ketangkasannya yang absolut. Ambisinya yang tak bisa ditundukkan siapapun pasti mengintimidasi otak-otak kosong pengisi kursi paripurna yang kerjanya hanya molor. Benar, sepertinya Mada memang terlahir untuk politik.

"Tapi, Mada. Apakah benar-benar tak ada satupun yang berkenan memberikan sedikit bantuan pada Prabu Jayanegara? Di dalam istana, pasti setidaknya ada beberapa pejabat yang akrab dengannya, bukan?" Spontan pertanyaan itu keluar dari mulut Laras setelah baru saja Mada menyinggung kembali bagaimana menyusahkannya perbuatan Ra Kuti.

Mada memelankan ayunan langkah kakinya. "Akrab atau tidak, jangan pernah menaruh kepercayaan dan harapan lebih pada manusia, Laras. Terlebih, jika manusia-manusia itu ada di dalam istana. Tapi ... bukan hanya itu masalahnya," matanya mengerling penuh penekanan, "Pada dasarnya, semua orang di dalam istana memang tidak ingin terlihat akrab, atau bahkan memiliki hubungan lebih dengan Prabu Jayanegara. Satu-satunya orang yang selalu ada bagi-nya hanyalah Yang Mulia Adityawarman, adik sepupu-nya,"

"Termasuk keluarga kerajaan?"

Mada mengangguk. "Terlahir sebagai anak dari seorang selir yang berasal dari luar Jawa, namun menjadi satu-satunya pria yang hanya bisa meneruskan takhta membuat keberadaan Prabu Jayanegara tak disukai orang-orang di istana, terlebih para pejabat yang sebelumnya dibentuk oleh mendiang Raden Wijaya—yang paling mencolok adalah Dharmaputra. Bagi Prabu Jayanegara, kesendirian memang sudah menjadi keseharian,"

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now