07 | [೫]

24.3K 3.8K 37
                                    

Benar-benar hanya satu kedipan mata.

Embusan angin menggerayangi kulit Laras. Dinginnya malam yang dia rasakan agaknya tak seperti dinginnya malam Jogja pada biasanya—bukan. Laras masih ada di Candi Bajang Ratu yang berarti dia masih berada di Mojokerto, seharusnya. Kristal es seakan merambat pada pembuluh arteri nya dan membekukan darah yang baru saja akan mengalir ke seluruh tubuh. 

Laras menyilangkan kedua lengannya di depan dada, mencoba menghangatkan tubuhnya sendiri. Namun, kaos lengan panjang itu serasa tak lagi membalut tubuhnya dengan rapi. Dia terkejut setelah menyadari jika kemben putih tulang tanpa selendang, dengan jarit sepanjang mata kaki melilit tubuhnya kencang. Matanya berkedip-kedip. 

Rasanya, dia hanya sedang merasakan déjà vu. Tidakkah seharusnya Laras panik sekarang ini?

"Yang akan kau lakukan nanti, akan selalu selaras dengan alurmu dimasa lalu. Kau tidak akan mengubah apapun yang sudah terjadi dulu ... karena aku bukan mengirimu dari masa depan untuk kembali ke masa lalu, aku hanya membantumu untuk mendapatkan kembali ingatanmu."

Gadis itu menepuk-nepuk pipinya dan mengerling. Mencoba menyakiti dirinya sendiri sebanyak yang dia bisa sampai dia mungkin akan benar-benar sadar jika ini bukanlah sebuah delusi. Pemandangan lawas dengan jajaran pepohonan rindang berbatang raksasa, pantulan samar cahaya obor yang menyala-nyala, dan tanah kering dengan rerumputan liar yang menggelitik kaki tanpa alas bukanlah bagian dari sebuah rekaan dunia fantasi.

Jadi, pada intinya, Laras sedang hidup dalam ingatannya sendiri? Jadi, ini adalah sukma Laras, begitu? Tidak, Laras. Jangan sembarangan menyimpulkan. Atau, mungkin Laras hanya sedang benar-benar gila dan semua ini adalah delusi seperti dugaannya? Argh! Menelan mie sambil kayang sepertinya lebih masuk akal!

Dia kemudian berbalik, dan menemukan dari mana arah pantulan cahaya dan suara percikan api itu berasal. Ada dua buah obor yang digantungkan pada sepasang pilar gapura kokoh. Arsitektur familiar bangunan itu spontan membuat kepalanya mendongak, melihat pada sebuah susunan bata merah menjulang dari sisi bawah hingga ke atas. 

Kakinya mundur beberapa langkah, hingga akhirnya dia mengenal jika bangunan yang berdiri tegak di hadapannya kini adalah Candi Bajang Ratu. Namun, rasanya cukup berbeda. Yang biasa Laras lihat, situs peninggalan kerajaan Majapahit itu hanyalah gapura yang berdiri tegak sendirian. Bukan sebuah gapura dengan pagar tembok bata merah kokoh nan menjulang yang memanjang di antara sisi kiri dan kanan. 

Ah, terlihat seperti sebuah pembatas wilayah yang Laras lihat dalam film-film kerajaan, bukan begitu? Laras melebarkan matanya. Seketika dia menjetikkan jarinya. Otak brilliannya langsung mengingat kala dia pernah membaca pada laman google, jika dulunya candi Bajang Ratu adalah gapura pintu belakang Kerajaan Majapahit sebelum wafatnya Raja Jayanegara.

"For real?" gumamnya tak percaya.

"Kau!"

Berjingkat. Laras reflek menolehkan kepalanya pada dua orang prajurit di dekat sepasang pilar gapura. Pria dengan badan sehat dan kulit sawo matang itu melihatnya dengan kilatan penuh telisik, seperti tengah mencurigai tingkah Laras. Membawa sebilah tombak panjang, bertelanjang dada dengan sepasang kelat bahu, mengenakan kain kecoklatan sepanjang lutut yang terlihat seperti dililit untuk sengaja dibentuk agar terlihat seperti sebuah celana.

"Kau tadi masuk ke dalam gapura sendirian, lalu berdiri di sana sangat lama. Ini sudah malam. Gadis muda sepertimu tak seharusnya berada di wilayah gapura belakang selarut ini. Kau dari wilayah luar Trowulan?"

Pria yang di sebelahnya menyahut, "Tidak mungkin seorang gadis dari wilayah luar ibu kota bisa selamat malam-malam seperti ini jika dia bukan salah satu bagian dari komplotan preman itu sendiri. Jujur saja, atas perintah dari ketua preman mana kau masuk kemari, begundal?"

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now